Cahaya Fajar yang Berkibar

12 Juli 2014 pukul 9:23




Ah.. Nilam.. kamu tetap saja cahaya. Cahaya Fajar yang berkibar


                Adalah seorang mahasiswi jurusan komunikasi itu Nilam namanya. Ia seorang gadis yang tergolong relijius di kalangan kami. Bajunya panjang dan jilbabnya berkibar seperti bendera. Bicaranya tidak terlalu banyak namun padat berisi, tak pernah kulihat Nilam mendongakkan kepala saat berjalan, pandangannya tertunduk dan teduh.
                Aku sahabat Nilam sejak SD, dulu ketika pertama mengenalnya ia tidak seperti sekarang ini. Aku sering pusing oleh tingkahnya dulu yang sangat nakal dan jahil. Seringkali kami teman-teman sekelas dibuat tertawa olehnya. Pernah sewaktu SMP, saat itu pelajaran fisika akan dimulai, Nilam mengaku ia sangat malas belajar fisika hari itu, akhirnya ia meminta garam pada ibu kantin dan menaburinya di bangku guru yang bertaplak putih, sehingga saat guru kami datang dan duduk disana, ia malah mengantuk. Berkali-kali guru itu menguap. Hahaha. Akhirnya ia menugaskan kami untuk mengerjakan tugas dan guru itu sendiri mohon izin ke belakang. Kami sontak bersorak girang, lalu Nilam mengelus dagunya sendiri dengan penuh kebanggaan. Aku ingat dulu banyak plester di kaki gadis itu karena tingkahnya yang sangat “kreatif”.
                Sekarang ia bak cahaya saat fajar terbit yang akan menerangi siapa pun. Sebagai sahabat, aku kagum padanya. Ia begitu menginspirasi. Perbuatannya, ucapannya, dan segala hal yang ia lakukan tak pernah tidak bermanfaat. Salah satu sifat yang membuatku salut darinya adalah selalu menepati janji. Meskipun ia harus kehujanan hanya untuk mengantarkan barang yang sudah dijanjikan. Secara fisik menurutku Nilam tak begitu cantik, namun apa yang ia lakukan dan tampilkan membuatnya “cantik” dan “elok”.  
                Tak kusangka cahaya fajar itu menyukai seorang laki-laki hebat di angkatan kami. Ia seorang ketua BEM, prestasi akademiknya pun sangat baik. Panggil saja ketua BEM, aku janji pada Nilam untuk tak membocorkan namanya ;). Telah lama ia menyukai ketua BEM itu, namun hanya ia simpan sendiri saja. aku pun tahu karena tak sengaja membaca buku hariannya. Aku terkejut kala itu ketika mengetahui bahwa Nilam sudah lama menyukai ketua BEM itu. suatu saat aku menyindir tentang perasaannya. Wajahnya memerah, tingkahnya gugup. Ku tahu Nilam tak pandai berbohong, sehingga terbukalah kotak tentang secret admiror yang ia simpan selama 3 tahun itu.
                Aku pernah menyarankan pada Nilam untuk membuat ketua BEM itu tahu tentang perasaannya. Nilam menolak.
                “Sudahlah, untuk apa? Toh kupikir kalau aku jodoh dengannya ya tidak akan kemana.  Biar, biar saja aku jaga perasaan ini”  begitulah Nilam. Meskipun aku desak dengan alasan sudah lama ia memendam perasaan itu, pasti sakit rasanya. Ia tidak mau. Atau aku berkata bahwa aku yang akan mengatakannya pada ketua BEM itu dengan cara yang tidak membuat Nilam malu. Ia pun tak mau. Ah.. ya sudahlah, terserah bu haji saja. aku menyerah, tapi jujur aku memikirkan beberapa ide untuk “melawan titah Nilam”. Suatu saat aku akan menceritakan ini.
                Cerita semakin rumit ketika kisah ini ditambah seorang gadis. Satu kelas denganku dan Nilam. Cantik, pintar dan anggun. Nova namanya. Ia pujaan dosen dan dan para mahasiswa, teman-teman mahasiswi pun banyak yang menyenanginya karena gadis itu baik hati dan ramah pada siapa pun. namun sayang.. ia tidak berkerudung. Padahal jika ia melindungi mahkotanya dengan jilbab, sudah jadilah ia bidadari syurga yang turun ke dunia. Menurutku mereka yang kagum pada Nova lebih pada segi fisiknya yang indah dan stylish. Karena jika dari sisi sifat dan karakter, kenapa bukan Nilam saja yang jelas “nyunnah dan qur’ani”? hmm…  aku yakin Allah yang mengangkat derajat Nilam.
                Pernah suatu hari anak-anak kelas berbincang tentang Nova. Beberapa dari kami menyayangkan ia tidak berkerudung untuk menggenapkan kesempurnaannya. Yang lainya berpendapat kerudung itu bukan diluar, tapi dalam hati dan menurut mereka hati dan perilaku Nova sudah berkerudung. Beda dengan orang yang berkerudung di luar namun hati dan perilaku mereka tak dapat dijaga. Suka membicarakan orang lain, suka iri dan dengki bahkan ada salah satu kasus di angkatan kami tentang seorang jilbaber yang memfitnah orang. Ahh.. dia itu telah mencoreng jilbab-jilbab kami rasanya. Sejak itu banyak yang tidak yakin pada jilbab dan melihat yang kami kenakan ini hanya atribut atau aksesoris. Kasar sekali menurutku. Aku tanya hal ini pada Nilam, ingin tahu bagaimana pandangannya. Pendapat Nilam mendamaikanku.
                “Jilbab ini, memang belum tentu menggambarkan bagaimana keadaan dalam diri kita, karena sejatinya menggunakan jilbab adalah melaksanakan kewajiban Allah Swt. Kerjakan dulu kewajiban seiring dengan itu perbaiki hati. Jilbab juga menjadi benteng bagi kita dalam berperilaku. Seolah menjadi rambu. Misalnya saat kita sedang membicarakan keburukan orang, ups ada jilbab. Malu dong.. hehe, atau saat kita "berhubungan" (Nilam membentuk tanda kutip di udara) dengan lawan jenis, oh maaf ada jilbab” begitulah Nilam dengan segala kearifannya.
*****
                Aku dan Nilam mengobrol di koridor, tak sengaja kami melihat ketua BEM sedang tertawa-tawa bersama teman-temannya. Aku mengernyit saat tahu yang mereka bicarakan adalah tentang orang disampingku ini.
                “oh.. dia yang kerudungnya kayak bendera itu ya? Berkibar-kibar? Haha.. nanti kalau aku sama dia, dikibas-kibas dong aku sama jilbabnya itu sampai ke bulan, hahaha” si ketua BEM itu tertawa. Kejam pikirku. Aku geram, dan ingin rasanya membungkam mulutnya itu namun Nilam menahan tanganku sehingga tak jadi untuk “menyerang”, ia sendiri yang diledek malah tersenyum.
                “Gini caranya…” Nilam berkata. Aku bingung apa maksudnya. Sambil memegang tanganku, kami berjalan menghampiri germbolan cowok gosip itu. Mereka menoleh.
                “Permisi, saya mau berkibar dulu ya…” ujar Nilam saat kami melewati kelompok cowo gossip. Ingin sekali aku terbahak dihadapan mereka. Namun demi Nilam, aku tak melakukan itu. The genk of gossip itu pun menunduk malu. Rasakan. Dan ketua BEM? Ia diam sambil memandang penuh arti pada Nilam. Jika aku tak salah lihat, ada sedikit senyum diwajahnya. Kami berlalu dari mereka.
                “Nilam, kamu lucu deh tadi.. hhah serius deh tadinya aku pengen ketawa banget depan mereka. Ide bagus”.
                “Hmm.. aku inget aja kata seorang motivator bahwa salah satu cara untuk membungkam mulut pencemooh adalah menjadi bahagia” Nilam mengangkat alisnya. Matanya berbinar. Haha sisi jahilnya belum hilang ternyata. Malah berkembang menjadi jahil positif.

                Sejak kejadian di koridor itu, aku mempunyai nilai negatif pada ketua BEM, sakit hatiku akan ucapannya tentang Nilam. Namun gadis itu kau dapat menebaknya sendiri, ia tetap dengan perasaannya. Aku tak mau berdebat dengannya tentang alasan ia begitu kuat pada cintanya. Menurut Nilam, jika kau yang asalnya mencintainya namun menjadi tak suka saat melihat satu sisi negatif saja, maka itu bukan cinta melainkan hanya sekedar kagum atas kelebihannya. Baiklah Nilam, terserah kau saja karena dirimu yang lebih tau tentang perasaanmu dari pada aku yang anak bawang.

*****
                Ku dengar gosip bahwa ketua BEM sedang dekat dengan Nova si primadona. Oh lengkapnya dunia dua pasangan itu. Akhir-akhir ini ketua BEM itu sering ke kelas kami untuk menemui Nova. Tentu saja aku memikirkan perasaan Nilam. Gadis itu selalu dalam keadaan membaca buku saat ketua BEM datang ke kelas untuk mengobrol dengan primadonanya. Aku yakin Nilam tidak sedang membaca, matamu tak dapat berbohong Nilam. Aku mengenal mata itu sejak SD. Ahh.. Nilam. Kapan ya rencanaku akan berlangsung. Aku sendiri bingung bagaimana caranya apalagi mengingat ucapan ketua BEM itu beberapa bulan lalu.  Dan Nilam? Oh ia ketiduran saat “membaca” buku. Kelas menjadi hening. Dosen datang.
                “Nilam, kamu itu panjangkan jilbab hanya untuk menutupi agar tak ketahuan tidur ya?” ujar Dosen.
                “hahaha..” sekelas tertawa begitu pun Nilam yang ikut bersama mereka yang menertawakannya. Dia itu, entah tidak tahu bahwa sekelas sedang mengejeknya, atau tak mau menghiraukan ejekan itu? yang jelas aku sakit hati untuk mewakilinya.

*****
                Apa? Ketua BEM dan Nova pacaran? Oh tidak. Semoga Nilam belum tahu hal ini. Aku mencarinya untuk mengetahui bagaimana ia. Dimana Nilam? Aku tanya pada teman-teman mereka berkata Nilam belum datang, aku yakin harus mencari Nilam kemana. Perpustakaan.
                Gadis itu menutupkan buku ke kepalanya. Tidurkah ia? Perlahan aku menghampiri. Ia membuka “penutup kepala”nya. Aku terkejut, mata dan hidungnya merah. Nilam….
                “Aku nggak percaya aja, dia yang aku dengar teguh untuk tidak menjalin hubungan dengan siapa pun itu, malah pacaran…” ucap Nilam tiba-tiba. Aku tahu betul perasaannya saat ini. sakit sekali rasanya. Orang yang sangat ia cintai selama tiga tahun itu… perasaanku pun campur aduk antara menyalahkan Nilam dan sakit hati atas perasaannya. Tentu saja aku menyalahkan diriku sendiri yang tidak segera menceritakan perasaan Nilam pada ketua BEM. Aku duduk disampingnya, memilih untuk tidak berkata apapun dan hanya mengelus pundaknya. Nilam meneteskan air mata.
                “Sudahlah Nilam, kamu percaya kan? Kalau dia memang jodohmu suatu saat kelak ia akan bersamamu. Jika tidak, Allah sudah menyiapkan yang terbaik buat kamu” aku berusaha menenangkan perasaannya. Haah..

*****
                Aku bersyukur sekali kami dapat lulus bersama. Aku dan Nilam, begitu pun Ketua BEM dan Nova. Terakhir kupikir sebelum benar-benar terlambat aku harus menceritakan semuanya pada Ketua BEM. Ya. Saat acara selesai, aku akan bicara.
                “Begitu… sekarang kamu tahu, sudah lama sekali Nilam memendamnya sendiri” aku mengakhiri perbincangan kami. Lama tak ada jawaban dari Ketua BEM, hingga..
                “Selama itu… dia kuat ya…” lirih Ketua BEM berkata. Aku tak tahu pasti bagaimana sesungguhnya perasaan lelaki itu. Adakah penyesalan darinya? Kalau pun iya, ia tak dapat berbuat apa-apa, karena Nova masih bersamanya. Tapi selama janur kuning belum melengkung kan? Masih banyak jalan menuju Roma. Tapi itu entahlah. Aku tak tahu isi hatinya. Lama tak ada perbincangan lagi antara kami.
                “hmm.. aku permisi ya..” ujarku pamit.
                “em.. Terima kasih ya” ketua BEM tersenyum sedikit sumbang entah kenapa.

*****
                Ah, rasanya baru kemarin kami jadi anak kuliahan. Sekarang sudah menimang anak masing-masing. Aku rindu sekali pada sahabat fajarku itu, sehingga mengunjungi rumahnya. Nilam yang sedang menggendong putri kecilnya terlihat sehat dan bahagia. Pantas, suaminya adalah lelaki shalih dan cerdas. Ia S2 lulusan mesir. Sekarang suaminya itu sedang menempuh S3 di Austria. Semuanya jalur beasiswa karena prestasinya yang gemilang. Ketua BEM itu kah? Tentu saja bukan. Nilam layak mendapatkan lelaki yang lebih baik darinya. Setelah semua ujian cinta yang ia lalui, Allah memberikan hadiah yang istimewa padanya. Aku sangat bersyukur.
                “Emm.. kamu tahu? Ketua BEM kemarin mengunjungiku” perkataan Nilam itu tentu saja membuatku terkejut.
                “oh ya? Ada apa?”
                “Aku membuka pintu untuknya..”
                “Hah? Kamu nggak bermaksud untuk…” aku takut.
                “Tentu saja, aku memang membuka pintu untuknya, sebagai kawan. Tidak ada yang aku rasakan, mungkin karena hati ini sudah netral dari dia ya? Hehe”
                Oh syukurlah.. aku kaget.
                “Biar tidak timbul fitnah, pintu aku buka, karena saat itu tidak ada siapa-siapa, anakku tidur. Kami ngobrol, awalnya tentang teman-teman. Lalu dia tanya tentang aku. Tentang statusku, sudah menikah atau belum”
                “lalu kamu jawab apa?”
                “Bukan aku yang jawab, tapi anakku. Ia bangun tidur dan menangis. Lalu aku memperkenalkan anakku padanya. Ketua BEM jawab bahwa dia terlambat. Sejak kuliah dia terlambat katanya” memang. Pikirku.
                “Jujur aku tidak tega melihatnya. Aku pun mengatakan bahwa tidak terlambat untuk jodohmu yang sedang menunggumu di suatu tempat disana. Ia tertawa mengiyakan, meski aku dengar ada nada sedih dalam tawanya. Yah.. jodoh memang siapa yang tahu? Setelah mengucapkan doa untuk anakku dan mendoakan keluargaku, ia pamit” mata Nilam menerawang.
                “Menyesalkah kamu pernah mencintainya, Lam?” aku penasaran.
                “Tidak, aku bersyukur, dengan cinta itu, aku jadi bersemangat. Melihatnya bahagia, aku pun bahagia. Aku senang dengan keberhasilannya. Dengan cinta itu aku juga berdoa untuknya. Agar Allah selalu melindunginya. Sekarang pun aku masih mencintainya. Cinta pada saudara seiman sekaligus kawan yang telah banyak menginspirasiku dan membuatku bahagia” Nilam tersenyum penuh keteduhan.
                Ah.. Nilam.. kamu tetap saja cahaya. Cahaya Fajar yang berkibar. :)



Terimakasih sudah membaca, ditunggu kritik dan saran kawan-kawan sekalian ya.. :D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

UNDAK USUK BASA SUNDA

Psikologi Transpersonal, Agama dan Being Transpersonal

A story (Cinta Sejati Air dan Api)