Lacur, Sang Pelacur

(Sebuah Cerpen. Oleh: Sayidah Iklima)

Namaku Lacur. Dan seperti namaku, pekerjaanku pun melacur. Menjual diriku untuk para lelaki hidung belang yang burungnya selalu ingin masuk sangkar mana saja dan semaunya. Entah bagaimana aku bisa sampai ke tempat ini. Sebuah rumah bordil di mana pemiliknya adalah wanita gemuk yang amat senang dengan berbagai perhiasan dan asap rokok. Seingatku, sepuluh tahun yang lalu, aku sudah sampai di tempat ini setelah menghisap bau yang menyesakkan dari sebuah sapu tangan, kemudian terbangun dengan pengelihatan yang remang-remang. Setelah itu bajuku diganti, aku didandani, dan … sepuluh tahun kemudian, jadilah aku seperti sekarang ini. Oh ya, namaku pun diubah oleh wanita gemuk itu, menjadi Lacur. Aku sendiri tak mau lagi mengingat nama asliku.
Entah sudah berapa kali kulitku disentuh oleh para lelaki dengan warna kulit yang berbeda. Puluhan, ratusan? Yang jelas bukan hitungan jari. Bahkan jumlah jari para penghuni rumah bordil ini.
Aku bekerja keras untuk mendapatkan posisi seperti sekarang. Kelas kakap, jika mereka bilang. Tentu tak mudah untuk mendapatkan posisi sebagai pelacur pilihan. Bahkan beberapa wanita yang sudah lama bekerja di sini pun masih belum bisa untuk menjadi sepertiku. Bukan hanya bedak dan gincu yang aku gunakan sebagai jurus untuk menarik para pelanggan berkantung upah yang meruah. Tapi juga cara dan etika. Ya, pelacur pun punya etika. Etika melacur. Termasuk gaya. Kau percaya, bahkan dengan lirikkan mata saja, seorang lelaki dengan level bonavid langsung memesan kamarku. Seperti yang terjadi kemarin lusa.
Tak terhitung sudah berapa jumlah lelaki yang menjajaki tubuhku. Dari mulai mereka yang biasa-biasa saja. Hingga para lelaki dengan jabatan yang tak main-main. Beberapa diantara mereka merupakan anggota pemerintahan, yang sebagian besar memiliki istri simpanan pula di rumah-rumah mereka yang lain. Sebagian lainnya, adalah para Don Juan yang kesepian dan memilih bertamasya ke rumah-rumah bordil untuk memuaskan hasrat biologis mereka. Terkadang para bos di perusahaan terkenal pun datang kemari. Sekedar untuk melepas penat dan stres di kantor, katanya.
Sebagai seorang pelacur, aku selalu bekerja dengan profesional. Meski menjadi seorang pelacur bukanlah keinginanku, bahkan memimpikannya pun saja tidak, tapi aku punya prinsip. Totalitas adalah nomor satu. Itu makannya kini aku dijuluki sebagai PI, “Pelacur Idaman”, atas cara kerja dan komitmenku dalam melacur. Meskipun awalnya aku melakukan berbagai pemberontakan dan usaha untuk melarikan diri yang tak membuahkan hasil, seiring berjalannya waktu, akhirnya aku “luluh” dan mau melakukan pekerjaan ini. Jika aku mengaku terpaksa, kau mungkin tak percaya, karena toh pada akhirnya aku tetap menjadi Lacur, hingga menjadi seperti sekarang ini.
Mungkin aku berbicara seperti seorang yang sukses atau berhasil meraih sesuatu. Namun, aku hanyalah pelacur. Sebuah pekerjaan yang tak akan pernah dihormati, bahkan oleh orang yang membelinya sekalipun. Kau tahu, setiap kali melakukan pekerjaan ini, aku melupakan statusku sebagai seorang wanita. Bagiku, wanita adalah makhluk yang harus dihormati dan diperlakukan secara hormat. Tapi aku hanyalah Lacur. Seorang yang menjual dirinya pada para hidung belang pencari sangkar itu. Dengan melupakan status sebagai wanita, aku menghargai diriku. Karena Lacur, hanyalah seorang pelacur.
Ada saat-saat di mana aku merasa bosan dengan pekerjaan ini. Ada perasaan jengah dan hasrat untuk berhenti. Mungkin terlalu berlebihan jika disebut aku ingin memulai kehidupan baru. Karena aku sudah “pasrah” dengan keadaanku yang sekarang. Aku hanya bosan dan enggan melakukan pekerjaanku. Uang yang aku miliki pun sudah lebih dari cukup untuk sekedar memiliki rumah dan membuka sebuah usaha sendiri. Namun, ada sesuatu yang menahanku untuk tetap berada di rumah bordil si wanita gemuk. Pertama, tak bisa aku pungkiri, aku telah memiliki hubungan batin dengan si wanita gemuk itu. Ia sudah seperti ibuku sendiri selama sepuluh tahun terakhir. Meski memiliki perangai yang buruk, tapi ia begitu perhatian dan cukup penyayang. Kedua, aku pernah kedatangan seorang pelanggan yang begitu menarik perhatianku. Tak pernah aku begitu mengingat orang yang telah memesanku. Setiap habis bekerja, keesokkan harinya aku lupa dengan siapa ia. kemudian sudah berganti lagi dengan yang baru. Tapi ia lain, ia amat menarik. Siapa ia. Menyesal tak aku tanyakan tentang dirinya.
Obrolan yang kami lakukan saat itu singkat-singkat saja. Mana aku tahu pertemuan kami saat itu akan menjadikanku teringat dan, … rindu? Yang paling aku ingat, ia bukanlah seorang bos besar, pejabat pemerintahan, atau pula Don Juan yang kesepian. Tapi ia pun bukan pria yang biasa saja. Terlihat dari penampilan, caranya membawakan diri dan tatapannya yang lain. Aku akui, pria berkumis itu cukup menarik perhatianku. Padahal, sebagai seorang pelacur, sudah semestinya aku lupa dengan setiap lelaki yang telah aku temui.
Tidak, aku tidak merasakan perasaan khusus padanya. Aku sudah tidak tahu lagi apa itu namanya perasaan. Apalagi, cinta? Bagiku, itu hanyalah sebuah kata yang terdapat dalam puisi gombal anak-anak remaja. Sepertinya cinta sudah tidak ada lagi dalam kamus kehidupanku saat ini. Namun, siapa pria berkumis itu. Kenapa aku begitu penasaran padanya?
Oh, wanita gemuk memanggilku. “Pemesan” sudah menunggu katanya. Ternyata perkenalan singkat tentang diriku ini cukup memakan waktu untuk berdandan.
Baik, sudah dulu ya. Sudah saatnya aku bekerja. Menjadi Lacur. Dan kembali melupakan statusku sebagai wanita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

UNDAK USUK BASA SUNDA

Psikologi Transpersonal, Agama dan Being Transpersonal

A story (Cinta Sejati Air dan Api)