“Usiaku 40 tahun, Daisy….”
Bagi remaja lain
seusia putriku. Aku lebih cocok menjadi seorang kakek daripada ayah. Putriku
tidak begitu, untuk seorang remaja, pemikirannya sudah berkembang diatas usia
seharusnya. Ia istimewa dan mirip ibunya, Istriku yang meninggal 3 tahun yang
lalu. Putriku nampak tegar sebagai seorang gadis yang tumbuh tanpa belaian Ibu.
Meski seringkali aku melihat ia duduk di luar memandang tanaman-tanaman yang
dipelihara Ibunya dulu. Kadang ia disana sambil membaca majalah majalah atau koran
koran atau sekedar menulis buku hariannya.
Sebagai Ayah, aku
merasa kalah dengan putriku. Sepeninggal Ibunya, ia menjadi lebih mandiri. Tapi
aku, seringkali menangis merindukan istriku, Daisy. Hingga saat ini pun. Ah air
mataku menetes lagi.
Aku ingat saat
pertama kali mengenal Daisy sewaktu ia masih mahasiswiku dulu. Aku mengajar di
kelasnya mata kuliah Sosiologi. Mahasiswa yang lain melihatku seperti melihat diktator
yang kejam. Mereka sampai menjulukiku dosen killer. Hmm..aku menikmatinya. Para
mahasiswa itu ketika aku minta untuk ke depan menjelaskan suatu hal berdasarkan
pandangannya sebagian besar dari mereka terlihat gemetaran. Aku berlagak biasa
saja, malah tertarik untuk semakin menjahili mereka. Tapi Daisy… ia lain, aku
baru sadar ketika tak sengaja melihat tatapannya yang aneh padaku. Aku
pura-pura melihat ke suatu arah yang membuat lapang pandangku dapat melihat
kemana sebenarnya tatapannya mengarah. Oh.. padaku?! Gadis aneh… pikirku kala
itu. Kemudian aku sengaja menyuruhnya ke depan untuk mempresentasikan
permasalahan yang telah aku sajikan sebelumnya. Oh ia tampak tenang, meski sesaat
aku melihat ada sedikit gugup di wajahnya, tapi ia bisa mencairkan suasana
kelas yang tegang karena kehadiranku. Suasana menghangat. Tiba-tiba Daisy
melakukan kesalahan yang fatal dalam presentasinya hingga aku menghukumnya ke
luar kelas. Suasana pun kembali tegang.
Kelas usai waktu
itu, aku keluar dan melihat Daisy yang menunggu di depan kelas malah memberiku
senyuman sambil mengucap terima kasih. Aku balas senyumannya. Sejak saat itu
aku simpati padanya dan ia masuk list mahasiswa spesialku. Bukan karena hal
apa, tapi atas kesan berbeda yang aku tangkap kala itu.
Minggu demi
minggu, aku makin memperhatikan Daisy, selain karena ia aktif di kelasku, juga
karena kesan yang aku dapat darinya. Ia seringkali mencoba mencari perhatianku.
Hmm.. bukan untuk mendapat nilai yang baik atau predikat murid teladan. Karena
tingkahnya bukan sebuah pencitraan diri agar dipandang baik, melainkan sebuah
usaha untuk mencuri hati. Bahkan saat aku bersikap keras dan menunjukkan wajah
dingin padanya, ia tetap dengan tatapannya yang itu, ketika pertama aku melihat
tatapan anehnya.
Aku penasaran
dengan anak ini, pikirku kala itu. di ruang dosen saat kami sedang beristirahat,
basa-basi aku memulai percakapan dengan para dosen tentang mahasiswa-mahasiswi
kami. Hingga sampailah pembicaraan tentang Daisy. Beberapa dosen memiliki
penilaian yang sama denganku, yang lain malah berbeda. Mereka bercerita kalau
Daisy seringkali tidur di kelas. Lucu. Aku tersenyum yang menyebabkan seorang
dosen bertanya “ada apa Pak?” “ah tidak” jawabku, sepertinya ia menangkap mimik
wajahku yang aku akui bukan mimik wajah seorang dosen yang membayangkan
mahasiswanya. Tapi mimik seorang pria yang memikirkan wanitanya.
Di media sosial,
aku membaca tulisan-tulisan Daisy. Hingga membuat suatu penilaian tentangnya.
Penilaian khusus.
Dan Daisy berhasil. Ia membuatku merasa muda kembali.
Hari itu, aku tak
sengaja bertemu Daisy di koridor, ia tersenyum padaku. Aku yang tiba-tiba gugup
pura-pura tak melihatnya. Dari belakang punggungnya aku mendengar Daisy
menghembuskan nafas panjang. Mendengar ini aku berbalik dan memanggilnya
“Daisy? Mata kuliah apa hari ini?”
“eh, ya Pak?
Eng.. Statistika Pak. He.. “ ia nyengir.
“Oh, sudah faham
berapa rumus?” aku pancing dia lagi.
“eh.. hehe..” dia
malah nyengir lagi lalu menggaruk belakang kepalanya yang aku yakin tidak
gatal.
“hmm.. baik, selamat belajar” aku tersenyum melihat pupil
matanya yang tiba-tiba membesar. Haha. Aku sendiri pun tidak yakin apakah pupil
mataku tetap pada keadaan yang semula setelah bertemu dengannya. Gugup pula.
Sejak pertemuan
tak sengaja di koridor itu aku makin sering bertemu dengan Daisy. Sepertinya
alam menjawab pikiranku dan mengizinkan kami untuk selalu bertemu. Dari situ
kami jadi sering mengobrol tentang apa saja. Daisy senang membaca buku. Apalagi
tentang sejarah. Kami sejalur. Apapun kami obrolkan hingga tertawa bersama.
Kedekatan kami membuat beberapa orang curiga,
yang lain menganggap ini suatu hal yang biasa terjadi antara dosen dan
mahasiswa. Namun, seorang yang dekat denganku melihat hal lain. Suatu hari ia
menyindirku “Setelah 40 tahun, akhirnya menemukan belahan jiwa juga ya, Pak”.
Aku pun memutuskan untuk menceritakan padanya hal yang sebenarnya terjadi. Aku jatuh
cinta.
Saat kami pulang
bersama, aku terkejut. Daisy mengatakan tentang perasaannya padaku. Ia dengan
terus terang ingin menjalankan suatu hubungan yang serius. Ia yakin aku pun mencintainya.
Ya memang benar. Tapi aku tak bisa menjawab apapun saat itu. Banyak sekali yang
aku pertimbangkan. Daisy tidak mengusikku yang tetap diam. Alih-alih malah
memalingkan wajah dan mengganti topik pembicaraan.
Suatu hari, aku
menyampaikan jawabanku pada Daisy dengan kalimat sederhana yang kupikir cukup
menggambarkan kegelisahanku.
“Usiaku 40 tahun
Daisy...”
"Memangnya
ada apa dengan usia, Pak? Apakah usia akan membatasi kasih sayang sesama
manusia? Apakah usia akan menghalangi rasa cinta? Apakah jauhnya perbedaan usia
Cleopatra dan Julius menjauhkan cinta
mereka? Bapak sendiri pun tahu, rasul Muhammad Saw menikahi Aisyah Ra dengan
selisih usia 40 tahun-an.. jika ini yang Bapak permasalahkan. Percayalah... aku mencintaimu, bukan usiamu, Pak” Daisy lirih
mengakhiri kalimatnya. Aku tertegun.
Sesuatu menohokku
ketika rekanku berkata “Dia kan 20 tahun lebih muda dari Anda, Pak” Aku tahu
rekanku bicara begini dengan pertimbangan tertentu. Ya aku tahu betul itu, aku
20 tahun diatasnya. Itu membuatku takut. Tapi bukan kondisiku yang aku khawatirkan,
melainkan Daisy. Bagaimana ia kelak jika benar jalan ini yang akan kami pilih?
Bagaimana ia akan hidup sendirian jika aku meninggal, ya meski tidak ada yang
tahu umur manusia. Tapi aku sudah tua…. Dan lagi, bagaimana Daisy akan menerima
komentar orang-orang tentang pilihan yang diambilnya. Apalagi mereka yang
mencemooh. Tapi Daisy, dengan senyum khasnya mengatakan “Apakah kita hidup
untuk mereka Pak? Apakah komentar mereka yang memberi kita gizi? Aku tidak
peduli itu, toh apapun yang kita lakukan akan menuai komentar. Ku anggap itu
bentuk kepedulian mereka, atau mungkin rasa iri?” kembali ia tersenyum.
Akhirnya tibalah
hari-hariku dengan Daisy. Yang hanya dimiliki aku dan Daisy.
****
Ah.. matahari
sudah beberapa jengkal di atas laut, warnanya sesenja usiaku. Sepertinya tak
lama lagi aku akan menyusul Daisy, yang selalu ku rindu. Senyumannya, tawanya,
jahilnya, marahnya, wajahnya yang sedang berpikir…
Aku melihat
sesuatu dari atas sana, warnanya putih, makin dekat makin membesar, seiring
dengan itu matahari perlahan membenamkan diri. Mataku meredup, mulutku
membacakan doa pada Tuhan atas segala anugerahNya dalam hidupku, dan cahaya itu
pun tiba di depan wajahku, membelaiku dengan kedamaian.. perlahan aku menutup
mata.
Komentar
Posting Komentar