Psikologi Transpersonal, Agama dan Being Transpersonal
Abstrak
Psikologi
Transpersonal merupakan madzhab keempat dari aliran psikologi yang latar
belakang kemunculannya berangkat dari keinginan untuk mengawinkan antara
psikologi modern barat dengan kepercayaan yang dianut agama-agama ketimuran
yang melakukan ritual-ritual keagamaan sebagai sarana meraih pengalaman
spiritual. Maka lahirlah psikologi Transpersonal yang mengkaji tentang
bagaimana manusia mencapai pengalaman spiritual ini yang merupakan potensi
tertinggi umat manusia yang melebihi keadaan kesadaran. Karena lahir dari
keingintahuan tentang religiusitas dan pencapaian terhadap potensi tertinggi
manusia, maka pendekatan-pendekatan dalam transpersonal pun bersifat
transendensi dalam bentuk penyerahan diri kepada kosmos.
Pendapat
saya mengenai Psikologi Transpersonal berasal dari pendekatan timur dan cenderung
sekuler (tidak beragama)
Saya tidak sependapat mengenai Transpersonal cenderung
sekuler, karena sejarah Transpersonal sendiri berangkat dari bagaimana manusia
dapat menyentuh sisi terdalamnya yang meliputi aspek spiritual hingga mengalami
transendensi, sementara secara ideologis, istilah sekuler
didefinisikan sebagai “pembebasan manusia pertama dari agama, dan kemudian dari
kungkungan metafisika yang mengatur akal dan bahasanya.” (Cornelis Van
Paursen). Ia adalah “defatalization of history, yaitu pembebasan manusia dari
faham fatalistik yang pernah mendominasi sejarah lampau mereka, dengan mengubah
pandangan dan orientasi mereka dari hal-hal yang metafisik menuju dunia dan
zaman kekinian.” (Harvey Cox, The Secular City).
Noesjirwan
(2000) mendefinisikan Psikologi Transpersonal diartikan sebagai suatu studi
terhadap potensi tertinggi umat manusia dan dengan pengakuan, pemahaman dan perealisasian
keadaan-keadaan kesadaran yang mempersatukan antara spiritual dan transenden.
Menurut Prof. Dr. Kuntowijoyo Transendensi mempunyai makna teologis,
yakni ketuhanan, maksudnya bermakna beriman kepada Allah SWT. Transendensi
bertujuan menambahkan dimensi transendental dengan cara membersihkan diri dari
arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Singkatnya, menghendaki
manusia untuk mengakui otoritas mutlak Allah SWT.
Gagasan dasar dari psikologi
transpersonal adalah dengan mencoba melihat manusia selaras pandangan religius,
yakni sebagai makhluk yang memiliki potensi spiritual. Jika psikoanalisis
melihat manusia sebagai sosok negatif yang dijejali oleh pengalaman traumatis
masa kecil, behaviorisme melihat manusia layaknya binatang, humanistik bepijak
atas pandangan manusia yang sehat secara mental, maka psikologi transpersonal
melihat semua manusia memiliki aspek spiritual, yang bersifat ketuhanan.
Jelas bahwa berdasarkan pengertian
diatas Psikologi Transpersonal erat kaitannya dengan kegamaan atau keyakinan
beragama, bukan pendekatan sekuler yang memang membebaskan manusia dari agama
(tidak berhubungan dengan agama). Apalagi melihat konsep utama Psikologi
Transpersonal mengenai manusia ialah bahwa manusia tidak hanya mempunyai kesadaran psiko-fisis, psiko-kognitif
atau psikohumanistik, namun juga manusia mempunyai kesadaran yang terdalam dan
tinggi sifatnya serta bersifat metafisik. Kesadaran terdalam ini adalah apa
yang dinamakan pengalaman batin (spiritual) manusia. Inilah ranah yang tidak
disentuh oleh pendekatan yang sekuler yang konsep utamanya adalah sesuatu yang
bersifat materi dan konkrit.
Adapun metode psikologi transpersonal, oleh karena berbeda sama sekali dengan metode
pada aliran psikologi yang sudah kita kenal selama ini. Metode itu antara lain
Zen, Semedi, Psikosintesis, Yoga, Sufisme, dan Budisme yang merupakan
metode-metode dalam tradisi agama ketimuran.
Hubungan
antara Psikologi Transpersonal dan Psikologi Islam
Berdasarkan 202
definisi, Lajoie dan Shapiro (1992) yang dikutip dari Friedman dan Pappas (2006) dalam jurnal Hendro Prabowo,
menyimpulkan psikologi transpersonal sebagai:
“Psikologi transpersonal mencakup kajian tentang potensi tertinggi
umat manusia, dan dengan mengenali, memahami, serta realisasi dari penyatuan
spiritual, dan melebihi keadaan kesadaran (states of consciousness).”
Noesjirwan (2000) mendefinisikan
Psikologi Transpersonal diartikan sebagai suatu studi terhadap potensi
tertinggi umat manusia dan dengan pengakuan, pemahaman dan perealisasian
keadaan-keadaan kesadaran yang mempersatukan antara spiritual dan transenden.
Jung
juga menyatakan bahwa pengalaman spiritual sebagai tanda kesehatan mental, yang
akhirnya dapat membebaskan seseorang dari gangguan jiwa (Daniels, 2005) dalam
jurnal Hendro Prabowo. Keadaan seseorang dalam pengalaman spiritual sama dengan
konsep Psikologi Islam mengenai bagaimana seseorang melakukan ibadah sebagai sarana
spiritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran
yang telah dianjuranNya. Dengan ibadah sebagai proses spiritual inilah
seseorang melakukan pembersihan jiwa sehingga terbebas dari penyakit hati yang
dalam psikologi barat disebut dengan gangguan jiwa. Seseorang yang senantiasa
melakukan pembersihan diri dengan melakukan ibadah seperti sholat, puasa,
berdzikir maka akan senantiasa sehat mentalnya.
Banyak sekali konsep-konsep dalam
psikologi transpersonal yang sesuai dengan sifat agama atau dalam hal ini
Psikologi Islam yang melampaui sifat-sifat material. Psikologi Islam memandang
keimanan dan keyakinan dengan hati (spiritual) menjadi instrument yang penting.
Shalat
sebagai metode berhubungan dengan Tuhan mirip dengan meditasi dalam konsep
Transpersonal yang melebur kepada kesadaran kosmos. Asalkan shalat tersebut
khusyuk sesuai dengan tata cara dan fokus ke dalam sholat maka seorang hamba
(istilah islam bagi yang mengabdikan diri kepada Tuhan) akan melebur dan berasa
ada di ruangan lain, dalam situasi yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Dalam Transpersonal keadaan ini dinamakan Transendensi.
Apakah
anda telah menjadi seorang Transpersonal?
Lajoie dan
Shapiro (1992) yang dikutip dari Friedman dan Pappas (2006) menyimpulkan
psikologi Transpersonal sebagai: “Psikologi
transpersonal mencakup kajian
tentang potensi tertinggi umat manusia, dan
dengan mengenali, memahami, serta realisasi dari penyatuan
spiritual, dan melebihi keadaan kesadaran (states of consciousness).”
Hal terpenting dalam perspektif
transpersonal adalah pengenalan diri yang menyeluruh (komprehensif) dan utuh
(holistik). Pengenalan diri yang menyeluruh berarti pengenalan akan
kecenderungan pemikiran, perasaan, dan perilaku yang seringkali kita munculkan
dalam hidup keseharian; pengenalan ini membutuhkan proses refleksi yang
mendalam tentang “siapa aku?” dan pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaita.
(Adi sujatmika, web)
Karena
konsep pengenalan diri yang menyeluruh inilah setelah mempelajari pendekatan
Transpersonal, saya semakin merasa ngeh
dengan apa yang saya inginkan dan menyadari kondisi diri saya baik psikis
maupun fisik serta apa yang saya lakukan adalah alami dari dalam hati saya,
kalau sebelumnya, saya sering berdebat dengan logika yang kadang saya sulit
memahami apa maunya.
Saya merasa belum menjadi seorang
Transpersonal yang sepenuhnya, tetapi konsep-konsep dan pendekatan-pendekaan
dalam Transpersonal sudah banyak yang saya aplikasikan meski belum secara
menyeluruh, karena saya masih belum mampu untuk menyentuh aspek terdalam dalam
diri saya dan belum mengenali diri saya sepenuhnya seperti yang dijelaskan
dalam definisi diatas mengeni pengenalan diri dan penyatuan spiritual yang
melebihi kesadaran.
Meski demikian, saya berusaha untuk
menerapkan apa yang saya pelajari dalam Transpersonal dan hasilnya memang
memberi efek dan luar biasa. Seperti halnya bagaimana ketika saya
mendengarkan suara hati saya untuk mengetahui aspirasi terbesar saya melalui
musik (terapi GIM), saya rasakan betul manfaatnya jadi mengetahui bagaimana
saya dan aspirasi terbesar saya. Kemudian saya juga berhati-hati memilihkan
‘asupan’ untuk pikiran saya dengan hal-hal yang positif, karena setiap pikiran
itu bervibrasi dan alam beresonansi terhadap pikiran tersebut sehingga
menghasilkan suatu keadaan yang sesuai dengan apa yang dipikirkan.
Transpersonal pun menjelaskan
bagaimana seseorang melakukan Letting Go untuk “memasrahkan” segala keadaannya,
yang dalam Islam disebut Tawakal kepada Allah Swt. Dalam hal ini saya belajar
untuk menyerahkan apa yang saya inginkan kepada Allah Swt, dan berusaha
bervibrasi positif, ternyata hasilnya luar biasa dan di luar dugaan saya, meski
terkadang wanting (ambisi/hawa nafsu) dalam diri saya berusaha untuk
mendominasi dan ‘mencuri perhatian’ sehingga melemahkan vibrasi saya. Saya
segera ingat kepada konsep transpersonal mengenai emosi-emosi yang melimitasi
dan Letting Go.
Saya sangat tertarik dan senang untuk
lebih jauh mempelajari psikologi transpersonal yang melewati batasan-batasan
Psikoanalisa, Behavioristik dan humanistik. Dalam mempelajari transpersonal,
saya belajar untuk mengenali potensi tertinggi umat manusia, melewati keadaan
kesadaran dan mencapai penyatuan spiritual. Bagaimana manusia menyentuh
aspek-aspek terdalam dari diri dengan mendengarkan suara hatinya.
Daftar
Pustaka
Purwanto, Yadi. 2011. Psikologi Kepribadian
Integrasi Nafsiyah dan Aqliyah Perspektif
Psikologi Islami. Bandung: Refika Aditama.
Humanitas :
Indonesian Psychological Journal Vol. 2 No.1 Januari 2005 : 54- 64
Hendro Prabowo. Pengantar Psikologi Transpersonal.
Jurnal 2008
Komentar
Posting Komentar