AQIDAH/TAUHID SEBAGAI PRINSIP SAINS



AQIDAH/TAUHID SEBAGAI PRINSIP SAINS
Oleh    : Sayidah Iklima, Mahasiswi Semester I Fakultas Psikologi UIN Bandung

Pandangan Agama terhadap Ilmu Pengetahuan
Adalah perlu diketahui bahwa ajaran islam ada masalah-masalah yang termasuk ta’abbudi(semata-mata ibadah) dan ada masalah ta’qulli(dapat diakali) walaupun tidak semua demikian. Sebagai contoh berwudlu, mengapa dalam berwudlu itu yang harus dibasuh hanya bagian-bagian tertentu saja, ini namanya ta’abbudi. Akan tetapi berwudlu itu sendiri tidak bertentangan dengan akal bahkan dapat dimengerti dan dicari hikmahnya, ini ta’qulli. Maka antara wahyu Allah dan ilmu dapat bertemu dan ilmu dapat dapat mendukung kebenaran wahyu, perpaduan kedua unsur ini adalah ajaran islam.
Ajaran ijtihat dalam islam menjadi suatu bukti, betapa islam mendorong penggunaan akal dan pengembangan ilmu bagi manusia. Tapi pertumbuhan dan pengembangan ilmu tidak boleh berjalan sendirian tanpa dasar dan tujuan. Ia harus berjalan seiring dengan wahyu dan iman. Pengembangan ilmu dan teknologi harus selalu dibawah kontrol agama. Karena agama meletakkan dasar motifasi dan memberikan tujuan hakiki bagi kehidupan manusia. Terlepasnya agama akan memberikan kehidupan yang pincang, kehidupan manusia terancam kerusakan dan kehancuran.
Dengan ajaran keseimbangan dari Al-qur’an yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, maka dalam periode yang kurang dari satu generasi yakni 23 tahun, Nabi Muhammad SAW sukses membangun suatu bangsa dan lebih jauh dari pada itu, beliau berhasil membangun kemanusiaan yang tak ada taranya dalam sejarah. Dan generasi sesudahnya, bangsa primitif yang satu generasi yang lampau itu, telah menjadi umat yang dipertuan dan memegang kendali kekuasaan dalam bidang spiritual dan materiil atas bangsa-bangsa yang lebih tua kebudayaannya ketika itu, khususnya romawi, parsi dan mesir. Dalam hubungan ini ahli pikir perancis Dr. Gustave Le Bone berkata:
“Dalam satu abad atau tiga keturunan, bangsa-bangsa manusia tidak dapat mengadakan perubahan yang berarti. Bangsa perancis sendiri memerlukan 30 keturunan atau 1000 tahun baru dapat mengadakan masyarakat yang bercelup perancis. Ini adalah terdapat pada seluruh bangsa-bangsa dan umat, tidak ada yang terkecuali dalam hal ini selain dari umat islam, sebab Nabi Muhammad SAW sudah dapat mengadakan suatu masyarakat baru dalam tempo 1(satu) turunan 23 tahun yang tidak dapat ditiru atau diperbuat oleh orang lain.”
Selama ajaran islam diterapkan yaitu keseimbangan ketaatan beragama, perkembangan akal bebas dan ilmu pengetahuan, umat islam dalam masa berabad-abad telah menjadi pimpinan manusia di timur dan dibarat. Dari pusat-pusat kebudayaan islam, memencar sinar gemerlap menerangi penjuru-penjuru dunia. Sejarah kebudayaan mencatat tempat-tempat itu adalah: Baghdad, Damaskus, Istambul, Cordova, Sevilla dan Granada.
Akan tetapi manakala umat islam telah ramai-ramai meninggalkan medan ilmu pengetahuan, kemerdekaan berpikir dikekang, bahkan ditindas, sejak itulah kultur islam meluncur jatuh. Kemunduran kultur mengakibatkan kehidupan lemah dan rusak dalam segala bidang. Akhirnya dalam beberapa abad umat islam menjadi mangsa umat lain, menjadi umat yang dijajah oleh bangsa barat, barulah dipenghujung abad ke XIX kesadaran bangkit kembali. Abad ke-XX menjadi abad reneisans dan kebangkitan umat islam. Pendidikan dan pengajaran dalam masyarakat islam di modernisir untuk mengejar ketinggalan yang jauh, disamping perjuangan fisik dan politik dalam rangka kemerdekaan dari belenggu Imperialisme. Akhirnya bangkitlahsatu demi satu sebagai bangsa yang merdekadan berdaulat ke dalam dan keluar.
Sehubungan analisa dimuka, ada tiga hal dalam perhubungan ilmu dan agama.
1.      Kuasa agama terhadap ilmu,dimana ilmu harus tunduk dan tidak boleh menentang dogmatik agama, seperti dalam sejarah abad pertengahan di dunia barat.
2.      Pemisahan agama dan ilmu, suatu pemisahan yang menarik garis demarkasi dengan menentukan batas-batas daerah masing-masing. Agama adalah masalah pribadi dan hub individu dengan tuhan. Ilmu adalah untuk ilmu. Pada peristiwa inilah lahirlah dunia atheisme dan dunia sekularisme.
3.      Integrasi agama (iman dan abadah) dengan ilmu inilah ajaran islam.
Ilmu pengetahuan dilandaskan pada keyakinan bahwa pengalaman dan upaya daya akal budi itu absah. Teori ilmu pengetahuan dipengaruhi dan ditetapkan secara kuat oleh logika. Manusia memperoleh pengetahuan bukan saja untuk menguasai alam tetapi juga membawa dia ke arah kehidupan yang mempunyai nilai-nilai tertentu. Ilmu pengetahuan merupakan ranah profan. Pengetahuan yang disusun oleh sains bersifat temporal dan pragmatis. Sains tidak bermaksud untuk menemukan kebenaran yang bersifat abadi melainkan cukup kebenaran yang bersifat sementara, yang fungsional dalam kurun waktu tertentu.
Hal ini lain sekali dengan moral yang diajarkan oleh agama yang bersifat abadi yang didak berubah dari masa ke masa. Sains sebagai alat, jika tanpa agama sebagai kompas, tidak akan membawa manusia ke arah kebaikan dan kebahagiaan. Sebaliknya sains hanya akan membawa malapetakan dan kesengsaraan. Di lain pihak, agama tanpa ilmu, tujuan yang mulia tanpa peralatan untuk mewujudkannya, akan tetap merupakan utopia dan angan-angan belaka.
Isi dari pengetahuan rasional dan dari adat kebiasaan, magi dipadukan dalam tradisi yang berbeda dan latar belakang sosial yang berbeda dan diakorporasikan dalam aktivitas yang berbeda pula dan semua perbandingan ini diakui secara jelas oleh orang-orang primitif. Sains bersifat individual sedangkan agama lebih bersifat sosial. Agama diungkapkan dalam mitos dan upacara yang mempunyai makna sosial, dimana seluruh suku ambil bagian, sedangkan magi hanya merupakan keadaan dimana seseorang mempergunakan sihir untuk memenuhi maksud tertentu.
Sains dalam tiap bentuknya hanya sekali datang dan dimiliki oleh manusia. Sains harus diturunalihkan dalam pertalian langsung dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga magi selalu dikuasai oleh sekelompok spesialisasi saja. Agama dimaksudkan untuk semua, dimana setiap orang bisa ambil bagian serta aktif dengan peran yang sama. Pada saatnya mereka yang diinisiasi akan menginisiasi, meratapi dan mengenang roh sebagai spirit.
Salah satu spesialisasi dari agama bukan profesi tetapi kharisma. Dasar pada agama bersifat moral; harus berurusan atau menangani peristiwa-peristiwa yang tidak bisa diatasi dan supernatural. Sehingga jika manusia keliru menjalankannya tidak berpengaruh (ex opere operato). Pernyataan tentang alam yang terdapat dalam agama bukanlah penyataan yang bersifat kognitif dan faktual melainkan afektif dan simbolik. Agama tidak mengajarkan teori tentang alam tetapi menghimbau agar manusia mempelajari alam dalam pernyataan simbolik yang mampu ditafsirkan oleh manusia sesuai tingkat kemampuan berpikirnya.
Untuk memperjelas tentang pandangan islam terhadap ilmu, diterangkan ayat-ayat berikut:
Beberapa firman Allah SWT:
  QS. Az zumar:9
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.
  QS,AliImran:18.
‘’Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

  QS. Al Mujadalah :11
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
  QS.Al-Fathir:28
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun”.
  QS.At-taubat:122
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”
Demikianlah secara sederhana dapat diprediksikan bahwa pandangan kaum agamawan terhadap sains dan teknologi sangat lekat dengan kritik karena secara substansial mereka telah menghegemoni sains yang dipersepsikan netral dan bebas nilai. Kecenderungan akhir dari pewacanaan tersebut telah menyebabkan sains menjadi alat kuasa yang jelas bisa ditebak bagaimana posisi agama dalam persinggungan wacana dengan sains. Tapi secara arif sekali lagi diakui bahwa kebenaran sejati selalu terbuka untuk dikritik dan difalsifikasi, dibongkar dan dipertanyakan, dan selebihnya adalah secara alamiah mengiringi kebudayaan manusia. baiklah kalau tidak sepakat, sejenak kita renungkan makna filosofis ungkapan Albert Einstein "ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah hampa".

Hubungan Al-Qur’an dengan Ilmu Pengetahuan
Dalam kitabnya Jawahir Al-Qur’an, Imam Al-Ghazali menerangkan pada bab khusus bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari al-Qur’an Al-Karim.[1]Membahas hubungan antara Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat, misalnya, adakah teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar; ilmu computer tercantum dalam al-Qur’an; tetapi yang lebih utama adalah adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Qur’an yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Dengan kata lain, meletakkanya pada sisi ‘’social psychology’’(psikologi social) bukan pada sisi ‘’history of scientific progress’’(sejarah perkembangan ilmu pengetahuan). Anggaplah bahwa setiap ayat dari ke-6.226 ayat yang tercantum dalam Al-Qur’an (menurut perhitungan kuffah) mengandung suatu teori ilmiah, kemudian apa hasilnya? Apakah keuntungan yang diperoleh dengan mengetahui teori-teori tersebut bila masyarakat tidak diberi ‘’hidayah’’ atau petunjuk guna kemajuan ilmu pengetahuan atau menyingkirkan hal-hal yang dapat menghambatnya.
Malik bin Nabi di dalam kitabnya Intaj Al-Mustasyrikin wa At-saruhu fi Al-fiqriy Al-hadits, menulis: ‘’Ilmu pengetahuan adalah sekumpulan masalah serta sekumpulan metode yang dipergunakan menuju tercapainya masalah tersebut.’’[2]
Selanjutnya beliau menerangkan : ‘’Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya terbatas dalam bidang-bidang tesebut, tetapi tergantung pula pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang mempunyai pengaruh negatif dan positif sehingga dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorongnya lebih jauh’’.
Ini menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya dinilai dengan apa yang dipersembahkanya pada masyarakat, tetapi juga diukur dengan wujudnya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan itu.
Sejarah membuktikan bahwa Galileo, ketika mengungkapkan penemuanya bahwa bumi ini beredar, tidak mendapat counter dari suatu lembaga ilmiah. Tetapi, masyarakat tempat ia hidup malah memberikan tantangan kepadanya atas dasar-dasar kepercayaan dogma, sehingga Galileo pada akhirnya menjadi korban tantangan tersebut atau korban penemuanya sendiri. Hal ini akibat belum terwujudnya syarat-syarat sosial dan psikologis yang disebutkan di atas. Dari segi inilah kita dapat menilai hubungan Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan.
Di dalam Al-Qur’an tersimpul ayat-ayat yang menganjurkan untuk mempergunakan akal pikiran dalam mencapai hasil. Allah berfirman: Katakanlah hai Muhammad:’’Aku hanya menganjurkan kepadanya satu hal saja, yaitu berdirilah karena Allah berdua-dua atau bersendiri-sendiri, kemudian berpikirlah.’’(QS 34;36).
Demikianlah Al-Qur’an telah membentuk satu iklim baru yang dapat mengembangkan akal pikiran manusia, serta menyingkirkan hal-hal yang dapat menhalangi kemajuanya.
Ayat-ayat di atas cukup memberi gambaran bahwa menuntut ilmu adalah salah satu sisi dari ajaran islam. Dengan kata lain ilmu dan agama tidaklah mungkin dipisahkan, pola berfikir dan bertindak memisah-misahkan ilmu dan agama, memisahkan agama dengan urusan lainnya sama sekali tidak ada dasarnya dalam islam. Dalam islam tidak ada orang-orang yang berfikiran sekuler. Islam adalah suatu totalitas.
Dr. Maurice Bucaille (Dr. Ahli bedah Perancis) dalam bukunya “La Bible Le Qoran Et La Science”(Bible, Qur’an dan Sains modern) setelah mengemukakan bukti-bukti yang amat banyak dengan penyelidikan selama kurang lebih 20 tahun menyimpulkan :
1.      Al Qur’an adalah wahyu ilahi yang murni.
2.      Al Qur’an masih asli.
3.      Al Qur’an sejarahnya amat terang sekali.
4.      Al Qur’an tidak mengandung suatu pernyataan yang dapat dikritik dari segi pandangan ilmiyah dizaman modern ini.
5.      Dalam Al Qur’an agama dan ilmu pengetahuan selalu dianggap sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dari semula mempelajari ilmu pengetahuan menurut Al Qur’an merupakan bagian dari kewajiban keagamaan.
Tentunya timbul suatu pertanyaan. Mengapa pada sebagian orang yang mengaku dirinya islam,terdapat pola berpikir dan bertindak sekule? Bukankah islam tidak memungkinkan sikap tadi?
            Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu kiranya kita melihat kembali sejarah pertentangan ilmu dan agama yang terjadi di dunia barat seperti yang diterangkan sebelumnya. Setelah itu kita pelajari tentang penjajahan bangsa-bangsa barat atas umat islam, pada masa kemunduran umat islam.
Pertama-tama kita lihat kembali sejarah pertentangan ilmu dan agama yang terjadi didunia barat.
Problem yang sebenarnya terjadi di duniabarat pada saat terjadi pertentangan tajam antar ilmu dan agama adalah dikarenakan mereka tidak mendapatiagamanya sebagai suatu yang dapat mengimbangi tingkat kecerdasan dan pengetahuan agama mereka yang dapat mendidik dan membuka alam fikiran mereka serta mendorong mereka untuk mencapai kesempurnaan jasmani dan rohani, kesejahteraan material spiritual.
Manusia pada zaman yang lalu ketika tingkat pemikiran dan kecerdasannya masih rendah dapat saja menerima segala apa yang disodorkan kepadanya agama atau kepercayaan tanpa merasa perluuntuk menyelidiki dan mempertimbangkannya, walaupun apa yang disodorkankepadanya itu hal-hal yang termasuk khurofat dan tahayul yang tidak dapat diterima oleh akal.
Hal yang demikian itu tidak berlaku lagi pada masa dimana manusia hidup pada abad teknologi yang maju pesat. Ia menghendaki agama yang dianutnya itu memuaskan akalnya dan dapat diterima oleh tingkat kecerdasan otaknya, serta dapat pula mengimbangi kemajuan zaman. Dengan tiada menghalanginya mengecap buah usahanya berupa kelezatan dan kebahagiaan rohani dan jasmani.
Tidak dikenalnya agama yang demikian sifatnya itu adalah salah satu dari sebab yang menyebabkan para cendekiawan dan cerdik pandai di dunia barat mempunyai saham tidak sedikit pembangunan dan pembinaan peradaban barat berpaling dari agama dan hanya bersandar pada akal dan fikiran dalam menilai segala sesuatu. Itulah awal timbulnya sekularisme.


.     Peran Agama terhadap Perkembangan Sains
Peran Islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada 2 (dua) Pertama,
menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah
yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada
sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan
landasan pemikiran (qa’idah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan.
Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu
pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan,
sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.
Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar
bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria
inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat
(pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Paradigma Hubungan Agama-Iptek Untuk memperjelas, akan disebutkan dulu beberapa pengertian
dasar. Ilmu pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang gejala alam yang
diperoleh melalui proses yang disebut metode ilmiah (scientific method) (Jujun
S. Suriasumantri, 1992). Sedang teknologi adalah pengetahuan dan ketrampilan
yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia sehari-hari
(Jujun S. Suriasumantri,1986). Perkembangan iptek, adalah hasil dari segala
langkah dan pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek
(Agus, 1999). Agama yang dimaksud di sini, adalah agama Islam, yaitu agama yang
diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, untuk mengatur hubungan manusia
dengan Penciptanya (dengan aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia dengan
dirinya sendiri (dengan aturan akhlak, makanan, dan pakaian), dan hubungan
manusia dengan manusia lainnya (dengan aturan mu’amalah dan uqubat/sistem
pidana) (An-Nabhani, 2001).
paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah
dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu
pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam Al-Qur`an
dan Al-Hadits-- menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas
yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan
manusia (An-Nabhani, 2001).
Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala
pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa
kita pahami dari ayat yang pertama kali turun (artinya) :
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. (QS Al-Alaq 96 ; 1)
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh
berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh
lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu
tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam
(Al-Qashash, 1995:81).
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu
pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit,
melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu
(Yahya Farghal, 1994:117). Firman Allah SWT (artinya) :
Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu. (QS An-Nisaa`
4 : 126)
Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (QS
Ath-Thalaq 65 : 12)
Itulah paradigma yang dibawa Rasulullah SAW (w. 632 M) yang
meletakkan Aqidah Islam yang berasas Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah
sebagai asas ilmu pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah Islam lebih dulu,
lalu setelah itu menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar bagi
berbagai pengetahun. Ini dapat ditunjukkan misalnya dari suatu peristiwa ketika
di masa Rasulullah SAW terjadi gerhana matahari, yang bertepatan dengan
wafatnya putra beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata. Gerhana matahari ini
terjadi karena meninggalnya Ibrahim. Maka Rasulullah SAW segera menjelaskan :
Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau
kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah.
Dengannya Allah memperingatkan hamba-hamba-
Nya (HR. Al-Bukhari dan An-Nasa`i) (Al-Baghdadi, 1996:10)
Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah SAW telah meletakkan
Aqidah Islam sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa
fenomena alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada
hubungannya dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang
tertera dalam Al-Qur`an (artinya) :
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.

(QS Ali Imran 3 :190)
Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai
dasar segala pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak
muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah
hasil dan prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat pada
masa kejayaan Ilmu pengetahuan Dunia Islam antara tahun 700  1400 M. Pada masa inilah dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur,
Al-Khawarzmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, Al-Battani (w.
858) sebagai ahli astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai pakar
kedokteran, ophtalmologi, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli
kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi (Tentang kejayaan iptek Dunia
Islam lihat misalnya M. Natsir Arsyad, 1992; Hossein Bahreisj, 1995; Ahmed dkk,
1999; Eugene A. Myers 2003; A. Zahoor, 2003; Gunadi dan Shoel.







AKIDAH TAUHID DALAM PRINSIP SAINS
            Penemuan penemuan dalam bidang sains dan teknologi mengenai alam, atom, manusia, tumbuh-tumbuhan dan berbagai bidang industri telah banyak menyingkap keindahan dan ketelitian ciptaan Allah SWT. Penemuan-penemuan dan rekaan-rekaan baru itu menguatkan lagi ajaran aqidah tauhid dan mengukuhkan lagi keimanan orang-orang mumin. Hasil-hasil kajian itu menunjukan kebesaran dan keluasan kodrat serta ilmu Allah. Dibalik semua ciptaanNya yang indah ini pasti ada sang penciptanya yang Maha besar dan Maha berkuasa.
1. Tauhid sebagai prinsip Sejarah
            Tauhid menempatkan kita pada suatu kehidupan di mana kita harus hidup dengan etika dalam peerbuatan maupun tindakan. Etika yang gimana? Yaitu etika yang sebagai manusia yang bermoral dan beragama yang dapat diukur melalui keberhasilan yang kita peroleh dalam mengisi ruang dan waktu, dalam dirinya maupun dalam lingkungan dimana kita tinggal. Didalam al Quran telah menyebutkan bahwa pembenaran kepada ciptaan Tuhan dimana kita harus menjalankan tugas sebagai umatnya, Secara empatis al Quran menegaskan bahwa dunia adalah lapangan bagi manusia untuk di manfaatkan oleh manusia dengan sebaik baiknya. Sejarah merupakan peristiwa penting bagi umat Islam dan akan dipertanggungjawabkan kelak nanti. Harus dipahami bahwa hasil akhir dari sejarah merupakan sebuah konsekuensi bagi pelaku sejarah tersebut, baik merupakan tindakan pribadi maupun kelompok. Dengan demikian Tauhid membimbing umat islam untuk memandang dirinya sendiri sebagai pusat sejarah, Karena ialah satu-satunya wakil Tuhan yang dapat membawa kehendak-Nya menuju terjadinya peristiwa Sejarah.
           

2. Metafisika
            Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah tuhan yang indah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teleologis, sempurna, dan teratur sebagai anugerah, ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa yang diperuntukan bagi manusia. Tujuannya adalah untuk memungkinkan manusia untuk melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Dengan sendirinya tauhid merupakan sesuatu yang berhubungan dengan penghapusan ketakutan yang bekerja di samping Tuhan. Tauhid mengumpulkan seluruh benang yang rajut dan mengembalikan kepada Tuhan, bukan kepada kekuatan lain. Tauhid di dalam Islam merupakan syarat bagi ilmu pengetahuan bukan sebagai penghalang. Alam yang dipandang melalui Tauhid, sangat sesuai dan dapat diamati secara ilmiah. Islam mengajarkan bahwa alam diciptakan untuk manusia agar dapat berkembang, menikmati anugerah Tuhan dengan aturan-aturannya.
3. Psiko-sosial
            Islam merupakan agama yang sesuai ruang dan waktu. Islam menghendaki agar manusia dapat menenuhi kebutuhannya secara wajar, seperti makan, minum, rumah yang nyaman, mengubah dunia menjadi sebuah taman yang indah, menikmati seks, pesahabatan yang baik dalam kehidupan, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan mengelola alam membangun hubungan social yang harmonis.
4. Tauhid sebagai etika
            Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia yang paling baik dengan tujuan untuk mengabdi kepadaNya. Amanat dari Tuhan tersebut merupakan pemenuhan unsur etika dari kehendak ilahi yang sifatnya harus direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya mahluk yang dapat melakukan itu. Tanggung jawab yang diberikan sama sekali tidak mengenal batas,mencakup segala unsur secara universal.
5. Tauhid sebagai Estetika
            Tauhid meupakan pemisahan secara ontologis antara Tuhan dan seluruh sifat alam. Segala bentuk Ciptaan Allah adalah mahluk yang tidak transenden, serta tunduk dan patuh terhadap hukum ruang dan waktu, Tauhid tidak betentangan dengan seni, sebaliknya tauhid mendorong kita pada pengambangan nilai keindahan dalam kehidupan. Nilai keindahan yang mutlak itu adalah diri Tuhan didalam firman atau kehendak yang di firmankan-Nya.
Sumber dan Referensi : Ismail Raji al-Faruqi.




http://tdjamaluddin.files.wordpress.com/2010/07/isra-miraj.jpg?w=468&h=468Isra’ Mi’raj: Inspirasi Mengintegrasikan Sains dalam Aqidah dan Ibadah

(foto: http://tdjamaluddin.wordpress.com/)
Isra’ mi’raj bukanlah kisah perjalanan antariksa. Aspek astronomis sama sekali tidak ada dalam kajian isra’ mi’raj. Namun, Isra’ mi’raj mengusik keingintahuan akal manusia untuk mencari penjelasan ilmu. Aspek aqidah dan ibadah berintegrasi dengan aspek ilmiah dalam membahas isra’ mi’raj. Inspirasi saintifik Isra’ Mi’raj mendorong kita untuk berfikir mengintegrasikan sains dalam aqidah dan ibadah.
Mari kita mendudukkan masalah isra’ mi’raj sebagai mana adanya yang diceritakan di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih. Kemudian sekilas kita ulas kesalahpahaman yang sering terjadi dalam mengaitkan isra’ mi’raj dengan kajian astronomi. Hal yang juga penting dalam mengambil hikmah peringatan isra’ mi’raj adalah menggali inspirasi saintifik yang mengintegrasikan sains dalam memperkuat aqidah dan menyempurnakan ibadah.
Kisah dalam Al-Qur’an dan Hadits
Di dalam QS. Al-Isra’:1 Allah menjelaskan tentang isra’:  “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Tentang mi’raj Allah menjelaskan dalam QS. An-Najm:13-18:  “Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada surga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.”
Sidratul muntaha secara harfiah berarti ‘tumbuhan sidrah yang tak terlampaui’, suatu perlambang batas yang tak seorang manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur’an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha itu.
Kejadian-kejadian sekitar isra’ dan mi’raj dijelaskan di dalam hadits-hadits nabi. Dari hadits-hadits yang sahih, didapati rangkaian kisah-kisah berikut. Suatu hari malaikat Jibril datang dan membawa Nabi, lalu dibedahnya dada Nabi dan dibersihkannya hatinya, diisinya dengan iman dan hikmah. Kemudian didatangkan buraq, ‘binatang’ berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan mata. Dengan buraq itu Nabi melakukan isra’ dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina. Nabi SAW salat dua rakaat di Baitul Maqdis, lalu dibawakan oleh Jibril segelas khamr (minuman keras) dan segelas susu; Nabi SAW memilih susu. Kata malaikat Jibril, “Engkau dalam kesucian, sekiranya kau pilih khamr, sesatlah ummat engkau.”
Dengan buraq pula Nabi SAW melanjutkan perjalanan memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang dikanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya baitul Ma’mur, tempat 70.000 malaikat salat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi.
Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam (‘pena’). Dari sidratul muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di surga, dua sungai fisik (dhahir) di dunia:  sungai Efrat dan sungai Nil. Lalu Jibril membawa tiga gelas berisi khamr, susu, dan madu, dipilihnya susu. Jibril pun berkomentar, “Itulah (perlambang) fitrah (kesucian) engkau dan ummat engkau.” Jibril mengajak Nabi melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur’an surat An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang sebenarnya.
Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah salat wajib. Mulanya diwajibkan salat lima puluh kali sehari-semalam. Atas saran Nabi Musa, Nabi SAW meminta keringanan dan diberinya pengurangan sepuluh-sepuluh setiap meminta. Akhirnya diwajibkan lima kali sehari semalam. Nabi enggan meminta keringanan lagi, “Aku telah meminta keringan kepada Tuhanku, kini saya rela dan menyerah.” Maka Allah berfirman, “Itulah fardlu-Ku dan Aku telah meringankannya atas hamba-Ku.”
Urutan kejadian sejak melihat Baitul Ma’mur sampai menerima perintah salat tidak sama dalam beberapa hadits, mungkin menunjukkan kejadian-kajadian itu serempak dialami Nabi. Dalam kisah itu, hal yang fisik (dzhahir) dan non-fisik (bathin) bersatu dan perlambang pun terdapat di dalamnya. Nabi SAW yang pergi dengan jasad fisik hingga bisa salat di Masjidil Aqsha dan memilih susu yang ditawarkan Jibril, tetapi mengalami hal-hal non-fisik, seperti pertemuan dengan para Nabi yang telah wafat jauh sebelum kelahiran Nabi SAW dan pergi sampai ke surga. Juga ditunjukkan dua sungai non-fisik di surga dan dua sungai fisik di dunia. Dijelaskannya makna perlambang pemilihan susu oleh Nabi Muhammad SAW, dan menolak khamr atau madu. Ini benar-benar ujian keimanan, bagi orang mu’min semua kejadian itu benar diyakini terjadinya. Allah Maha Kuasa atas segalanya.
“Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: “Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia”. Dan Kami tidak menjadikan pemandangan yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi  manusia….” (QS. 17:60).
“Ketika orang-orang Quraisy tak mempercayai aku (kata Nabi SAW), aku berdiri di Hijr (menjawab berbagai pertanyaan mereka). Lalu Allah menampakkan kepada saya Baitul Maqdis, aku dapatkan apa yang aku inginkan dan aku jelaskan kepada mereka tanda-tandanya, aku memperhatikannya….” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya).
Hakikat Tujuh Langit
Peristiwa isra’ mi’raj yang menyebut-nyebut tujuh langit mau tak mau mengusik keingintahuan kita akan hakikat langit, khususnya berkaitan dengan tujuh langit yang juga sering disebut-sebut dalam Al-Qur’an.  Bila kita dengar kata langit, yang terbayang adalah kubah biru yang melingkupi bumi kita. Benarkah yang dimaksud langit itu lapisan biru di atas sana dan berlapis-lapis sebanyak tujuh lapisan?
Warna biru hanyalah semu, yang dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari oleh partikel-partikel atmosfer. Langit (samaa’ atau samawat) berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak ada.
Bilangan ‘tujuh’ sendiri dalam beberapa hal di Al-Qur’an  tidak  selalu menyatakan  hitungan  eksak  dalam  sistem desimal. Di dalam Al-Qur’an ungkapan ‘tujuh’ atau ‘tujuh  puluh’ sering mengacu  pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al-Baqarah:261 Allah menjanjikan: “Siapa  yang  menafkahkan  hartanya di  jalan  Allah  ibarat  menanam  sebiji benih yang menumbuhkan tujuh tangkai  yang masing-masingnya     berbuah    seratus    butir. Allah  melipatgandakan pahala orang-orang yang dikehendakinya….” Juga di dalam Q.S. Luqman:27: “Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai  pena dan  lautan  menjadi tintanya dan  ditambahkan tujuh lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah….” Jadi  ‘tujuh langit’ lebih mengena bila  difahamkan  sebagai  tatanan  benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.
Lalu, apa hakikatnya langit dunia, langit ke dua, langit ke tiga, … sampai langit ke tujuh dalam kisah isra’ mi’raj?  Mungkin ada orang mengada-ada penafsiran, mengaitkan dengan astronomi. Para penafsir dulu ada yang berpendapat bulan di langit pertama,  matahari di langit ke empat, dan planet-planet lain di lapisan lainnya. Kini ada sembilan planet yang sudah diketahui, lebih dari tujuh. Tetapi, mungkin masih ada orang yang ingin mereka-reka. Kebetulan, dari jumlah planet yang sampai saat ini kita ketahui, dua planet dekat matahari (Merkurius dan Venus), tujuh lainnya –termasuk bumi– mengorbit jauh dari matahari.
Pengertian langit dalam kisah isra’ mi’raj bukanlah  pengertian langit secara fisik. Karena, fenomena yang diceritakan Nabi pun bukan fenomena fisik, seperti perjumpaan dengan para Nabi yang hakikatnya telah wafat. Langit dan Sidratul Muntaha dalam kisah isra’ mi’raj adalah alam ghaib yang tak bisa kita ketahui hakikatnya dengan keterbatasan ilmu manusia. Hanya Rasulullah SAW yang berkesempatan mengetahuinya. Isra’ mi’raj adalah mu’jizat yang hanya diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.
Perjalanan Keluar Dimensi Ruang Waktu
Isra’ mi’raj jelas bukan perjalanan seperti dengan pesawat terbang antarnegara dari Mekkah ke Palestina dan penerbangan antariksa dari Masjidil Aqsha ke langit ke tujuh lalu ke Sidratul Muntaha. Isra’ Mi’raj adalah perjalanan keluar dari dimensi ruang waktu. Tentang caranya, iptek tidak dapat menjelaskan. Tetapi bahwa Rasulullah SAW melakukan perjalanan keluar ruang waktu, dan bukan dalam keadaan mimpi, adalah logika yang bisa menjelaskan beberapa kejadian yang diceritakan dalam hadits shahih. Penjelasan perjalanan keluar dimensi ruang waktu setidaknya untuk memperkuat keimanan bahwa itu sesuatu yang lazim ditinjau dari segi sains, tanpa harus mempertentangkannya dan menganggapnya sebagai suatu kisah yang hanya dapat dipercaya saja dengan iman.
Kita hidup di alam yang dibatas oleh dimensi ruang-waktu (tiga dimensi ruang –mudahnya kita sebut panjang, lebar, dan tinggi –, serta satu dimensi waktu ). Sehingga kita selalu memikirkan soal jarak dan waktu. Dalam kisah Isra’ mi’raj, Rasulullah bersama Jibril dengan wahana “buraq” keluar dari dimensi ruang, sehingga dengan sekejap sudah berada di Masjidil Aqsha. Rasul bukan bermimpi karena dapat menjelaskan secara detil tentang masjid Aqsha dan tentang kafilah yang masih dalam perjalanan. Rasul juga keluar dari dimensi waktu sehingga dapat menembus masa lalu dengan menemui beberapa Nabi. Di langit pertama (langit dunia) sampai langit tujuh berturut-turut bertemu (1) Nabi Adam, (2) Nabi Isa dan Nabi Yahya, (3) Nabi Yusuf, (4) Nabi Idris, (5) Nabi Harun, (6) Nabi Musa, dan (7) Nabi Ibrahim. Rasulullah SAW juga ditunjukkan surga dan neraka, suatu alam yang mungkin berada di masa depan, mungkin juga sudah ada masa sekarang sampai setelah kiamat nanti.
Sekadar analogi sederhana perjalanan keluar dimensi ruang waktu adalah seperti kita pergi ke alam lain yang dimensinya lebih besar. Sekadar ilustrasi, dimensi 1 adalah garis, dimensi 2 adalah bidang, dimensi 3 adalah ruang. Alam dua dimensi (bidang) dengan mudah menggambarkan alam satu dimensi (garis). Demikian juga alam tiga dimensi (ruang) dengan mudah menggambarkan alam dua dimensi (bidang). Tetapi dimensi rendah tidak akan sempurna menggambarkan dimensi yang lebih tinggi. Kotak berdimensi tiga tidak tampak sempurna bila digambarkan di bidang yang berdimensi dua.
Sekarang bayangkan ada alam berdimensi dua  (bidang) berbentuk U. Makhluk di alam “U” itu bila akan berjalan dari ujung satu ke ujung lainnya perlu menempuh jarak jauh. Kita yang berada di alam yang berdimensi lebih tinggi dengan mudah memindahkannya dari satu ujung ke ujung lainnya dengan mengangkat makhluk itu keluar dari dimensi dua, tanpa perlu berkeliling menyusuri lengkungan “U”.
Alam malaikat (juga jin) bisa jadi berdimensi lebih tinggi dari dimensi ruang waktu, sehingga bagi mereka tidak ada lagi masalah jarak dan waktu. Karena itu mereka bisa melihat kita, tetapi kita tidak bisa melihat mereka. Ibaratnya dimensi dua tidak dapat menggambarkan dimensi tiga, tetapi sebaliknya dimensi tiga mudah saja menggambarkan dimensi dua. Bukankah isyarat di dalam Al-Quran dan Hadits juga menunjukkan hal itu. Malaikat dan jin tidak diberikan batas waktu umur, sehingga seolah tidak ada kematian bagi mereka. Mereka pun bisa berada di berbagai tempat karena tak dibatas oleh ruang.
Rasulullah bersama jibril diajak ke dimensi malaikat, sehingga Rasulullah dapat melihat Jibril  dalam bentuk aslinya (baca QS 53:13-18). Rasul pun dengan mudah pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya, tanpa terikat ruang dan waktu. Langit dalam konteks istra’ mi’raj pun bukanlah langit fisik berupa planet atau bintang, tetapi suatu dimensi tinggi. Langit memang bermakna sesuatu di atas kita, dalam arti fisik maupun non-fisik.
Sains Terintegrasi dengan Aqidah dan Ibadah
Bagaimanapun ilmu manusia tak mungkin bisa menjabarkan hakikat perjalanan isra’ mi’raj. Allah hanya memberikan ilmu kepada manusia sedikit sekali (QS. Al-Isra: 85). Hanya dengan iman kita mempercayai bahwa isra’ mi’raj benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah SAW. Rupanya, begitulah rencana Allah menguji keimanan hamba-hamba-Nya (QS. Al-Isra:60) dan menyampaikan perintah salat wajib secara langsung kepada Rasulullah SAW.
“…dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: ‘Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia’ dan Kami tidak menjadikan penglihatan (saat isra’ mi’raj) yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia …”
Pemahaman dengan pendekatan konsep ektra dimensi sekadar pendekatan sains untuk merasionalkan konsep aqidah terkait isra’ mi’raj, walau belum tentu tepat. Tetapi upaya pendekatan saintifik sering dipakai sebagai dalil aqli (akal) untuk memperkuat keyakinan dalam aqidah Islam. Sains seharusnya tidak kontradiktif dengan aqidah dan aqidah bukan hal yang bersifat dogmatis semata, tetapi memungkinkan dicerna dengan akal. Mengintegrasikan sains dalam memahami aqidah dapat menghapuskan dikhotomi aqidah dan sains, karena Islam mengajarkan bahwa kajian sains tentang ayat-ayat kauniyah tak terpisahkan dari pemaknaan aqidah.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS 3:190-191).
Pada sisi lain isra’ mi’raj mengajarkan makna mendalam dalam hal ibadah. Makna penting isra’ mi’raj bagi ummat Islam ada pada keistimewaan penyampaian perintah salat wajib lima waktu. Ini menunjukkan kekhususan salat sebagai ibadah utama dalam Islam. Salat mesti dilakukan oleh setiap Muslim, baik dia kaya maupun miskin, dia sehat maupun sakit. Ini berbeda dari ibadah zakat yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang mampu secara ekonomi, atau puasa bagi yang kuat fisiknya, atau haji bagi yang sehat badannya dan mampu keuangannya.
Salat lima kali sehari semalam yang didistribusikan di sela-sela kesibukan aktivitas kehidupan, mestinya mampu membersihkan diri dan jiwa setiap Muslim. Allah mengingatkan:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab  (Al  Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat  Allah  (shalat) adalah  lebih  besar  (keutamaannya  dari  ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut:45).
Isra’ dan mi’raj juga memberikan inspirasi untuk merenungi makna ibadah shalat, termasuk aspek saintifiknya. Umat Islam telah membuktikan bahwa sains pun bisa diintegrasikan dalam urusan ibadah, untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah. Demi kepentingan ibadah shalat, umat Islam mengembangkan ilmu astronomi atau ilmu falak untuk penentuan arah kiblat dan waktu shalat. Tuntutan ibadah mendorong kemajuan sains astronomi pada awal sejarah Islam. Kini astronomi telah menjadi alat bantu utama dalam penentuan arah kiblat dan waktu shalat. Konsepsi astronomi bola digunakan untuk penentuan arah kiblat. Perhitungan posisi matahari digunakan untuk mencari waktu istimewa dalam penentuan arah kiblat dan jadwal shalat harian. Kita cukup melihat jadwal shalat, tidak lagi direpotkan harus melihat langsung fenonema cahaya matahari atau bayangannya setiap akan shalat. Kini semua ummat Islam Indonesia, apa pun ormasnya, secara umum bisa bersepakat dengan kriteria astronomis dalam penyusunan jadwal shalat.
Inspirasi pemanfaatan sains dalam ibadah juga diperluas untuk ibadah-ibadah lainnya terkait dengan penentuan waktu. Penentuan awal Ramadhan dan hari raya kini sudah banyak memanfaatkan pengetahuan astronomi atau ilmu falak, baik untuk keperluan perhitungannya (hisab) maupun untuk pengamatannya (rukyat). Penentuan awal Ramadhan atau hari raya yang kadang berbeda saat ini bukan lagi disebabkan oleh perbedaan metode hisab dan rukyat, tetapi lebih disebabkan oleh perbedaan kriteria astronomisnya. Alangkah indahnya kalau pelajaran kesepakatan kriteria astronomis dalam penentuan jadwal shalat juga diterapkan untuk penentuan awal Ramadhan dan hari raya sehingga potensi perbedaan dapat dihilangkan. Tanpa kesepakatan kriteria itu, tahun ini dan beberapa tahun ke depan kita akan menghadapi lagi persoalan perbedaan awal Ramadhan dan hari raya.
Upaya menuju titik temu kriteria astronomi sudah mulai dilakukan. Tinggal selangkah lagi kita bisa mendapatkan kriteria hisab rukyat Indonesia yang mempersatukan umat. Isra’ mi’raj pun mengajarkan upaya menuju “titik temu” menurut cara pandang manusiawi antara Allah dan Rasullah terkait dengan jumlah shalat wajib yang semula 50 kali menjadi 5 kali sehari semalam. Satu sisi itu menunjukkan kemurahan Allah, tetapi pada sisi lain kita bisa mengambil pelajaran bahwa kompromi untuk mencapai titik temu adalah suatu keniscayaan. Kita tidak boleh memutlakkan pendapat kita seolah tidak bisa berubah, termasuk untuk mencapai titik temu. Kriteria astronomis hisab rukyat juga bukan sesuatu yang mutlak, mestinya bisa kita kompromikan untuk mendapatkan kesepakatan ada ada ketentraman dalam beribadah shaum Ramadhan dan ibadah yang terkait dengan hari raya (zakat fitrah, shalat hari raya, Shaum di bulan Syawal,  shaum Arafah)
Isra’ mi’raj memberikan inspirasi mengintegrasikan sains dalam memperkuat aqidah dan menyempurnakan ibadah, selain mengingatkan pentingnya shalat lima waktu.
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

SUMBER



[1] Lihat Dr. M. Quraish Shihab, M.A, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, 1992, hal.41-42
[2] Terbitan Dar Al-Irsyad, 1969, h.30

Komentar

Postingan populer dari blog ini

UNDAK USUK BASA SUNDA

Psikologi Transpersonal, Agama dan Being Transpersonal

A story (Cinta Sejati Air dan Api)