AQIDAH/TAUHID SEBAGAI PRINSIP SAINS
AQIDAH/TAUHID SEBAGAI PRINSIP SAINS
Oleh : Sayidah Iklima,
Mahasiswi Semester I Fakultas Psikologi UIN Bandung
Pandangan Agama
terhadap Ilmu Pengetahuan
Adalah perlu diketahui bahwa ajaran islam ada
masalah-masalah yang termasuk ta’abbudi(semata-mata ibadah) dan ada masalah
ta’qulli(dapat diakali) walaupun tidak semua demikian. Sebagai contoh berwudlu,
mengapa dalam berwudlu itu yang harus dibasuh hanya bagian-bagian tertentu
saja, ini namanya ta’abbudi. Akan tetapi berwudlu itu sendiri tidak
bertentangan dengan akal bahkan dapat dimengerti dan dicari hikmahnya, ini
ta’qulli. Maka antara wahyu Allah dan ilmu dapat bertemu dan ilmu dapat dapat
mendukung kebenaran wahyu, perpaduan kedua unsur ini adalah ajaran islam.
Ajaran ijtihat dalam islam menjadi suatu bukti,
betapa islam mendorong penggunaan akal dan pengembangan ilmu bagi manusia. Tapi
pertumbuhan dan pengembangan ilmu tidak boleh berjalan sendirian tanpa dasar
dan tujuan. Ia harus berjalan seiring dengan wahyu dan iman. Pengembangan ilmu
dan teknologi harus selalu dibawah kontrol agama. Karena agama meletakkan dasar
motifasi dan memberikan tujuan hakiki bagi kehidupan manusia. Terlepasnya agama
akan memberikan kehidupan yang pincang, kehidupan manusia terancam kerusakan
dan kehancuran.
Dengan ajaran keseimbangan dari Al-qur’an yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, maka dalam periode yang kurang dari satu
generasi yakni 23 tahun, Nabi Muhammad SAW sukses membangun suatu bangsa dan
lebih jauh dari pada itu, beliau berhasil membangun kemanusiaan yang tak ada
taranya dalam sejarah. Dan generasi sesudahnya, bangsa primitif yang satu
generasi yang lampau itu, telah menjadi umat yang dipertuan dan memegang
kendali kekuasaan dalam bidang spiritual dan materiil atas bangsa-bangsa yang
lebih tua kebudayaannya ketika itu, khususnya romawi, parsi dan mesir. Dalam
hubungan ini ahli pikir perancis Dr. Gustave Le Bone berkata:
“Dalam satu abad atau tiga keturunan,
bangsa-bangsa manusia tidak dapat mengadakan perubahan yang berarti. Bangsa
perancis sendiri memerlukan 30 keturunan atau 1000 tahun baru dapat mengadakan
masyarakat yang bercelup perancis. Ini adalah terdapat pada seluruh
bangsa-bangsa dan umat, tidak ada yang terkecuali dalam hal ini selain dari
umat islam, sebab Nabi Muhammad SAW sudah dapat mengadakan suatu masyarakat
baru dalam tempo 1(satu) turunan 23 tahun yang tidak dapat ditiru atau
diperbuat oleh orang lain.”
Selama ajaran islam diterapkan yaitu
keseimbangan ketaatan beragama, perkembangan akal bebas dan ilmu pengetahuan,
umat islam dalam masa berabad-abad telah menjadi pimpinan manusia di timur dan
dibarat. Dari pusat-pusat kebudayaan islam, memencar sinar gemerlap menerangi
penjuru-penjuru dunia. Sejarah kebudayaan mencatat tempat-tempat itu adalah:
Baghdad, Damaskus, Istambul, Cordova, Sevilla dan Granada.
Akan tetapi manakala umat islam telah
ramai-ramai meninggalkan medan ilmu pengetahuan, kemerdekaan berpikir dikekang,
bahkan ditindas, sejak itulah kultur islam meluncur jatuh. Kemunduran kultur
mengakibatkan kehidupan lemah dan rusak dalam segala bidang. Akhirnya dalam
beberapa abad umat islam menjadi mangsa umat lain, menjadi umat yang dijajah
oleh bangsa barat, barulah dipenghujung abad ke XIX kesadaran bangkit kembali.
Abad ke-XX menjadi abad reneisans dan kebangkitan umat islam. Pendidikan dan
pengajaran dalam masyarakat islam di modernisir untuk mengejar ketinggalan yang
jauh, disamping perjuangan fisik dan politik dalam rangka kemerdekaan dari
belenggu Imperialisme. Akhirnya bangkitlahsatu demi satu sebagai bangsa yang
merdekadan berdaulat ke dalam dan keluar.
Sehubungan analisa dimuka, ada tiga hal dalam
perhubungan ilmu dan agama.
1.
Kuasa agama terhadap ilmu,dimana ilmu harus tunduk dan tidak boleh menentang
dogmatik agama, seperti dalam sejarah abad pertengahan di dunia barat.
2.
Pemisahan agama dan ilmu, suatu pemisahan yang menarik garis demarkasi dengan menentukan batas-batas daerah masing-masing. Agama
adalah masalah pribadi dan hub individu dengan tuhan. Ilmu adalah untuk ilmu.
Pada peristiwa inilah lahirlah dunia atheisme dan dunia sekularisme.
3.
Integrasi agama (iman dan abadah) dengan ilmu inilah ajaran islam.
Ilmu pengetahuan dilandaskan pada keyakinan bahwa pengalaman dan upaya
daya akal budi itu absah. Teori ilmu pengetahuan dipengaruhi dan ditetapkan
secara kuat oleh logika. Manusia memperoleh pengetahuan bukan saja untuk
menguasai alam tetapi juga membawa dia ke arah kehidupan yang mempunyai
nilai-nilai tertentu. Ilmu pengetahuan merupakan ranah profan. Pengetahuan yang
disusun oleh sains bersifat temporal dan pragmatis. Sains tidak bermaksud untuk
menemukan kebenaran yang bersifat abadi melainkan cukup kebenaran yang bersifat
sementara, yang fungsional dalam kurun waktu tertentu.
Hal ini lain sekali dengan moral yang diajarkan oleh agama yang bersifat
abadi yang didak berubah dari masa ke masa. Sains sebagai alat, jika tanpa
agama sebagai kompas, tidak akan membawa manusia ke arah kebaikan dan
kebahagiaan. Sebaliknya sains hanya akan membawa malapetakan dan kesengsaraan.
Di lain pihak, agama tanpa ilmu, tujuan yang mulia tanpa peralatan untuk
mewujudkannya, akan tetap merupakan utopia dan angan-angan belaka.
Isi dari pengetahuan rasional dan dari adat kebiasaan, magi dipadukan
dalam tradisi yang berbeda dan latar belakang sosial yang berbeda dan diakorporasikan
dalam aktivitas yang berbeda pula dan semua perbandingan ini diakui secara
jelas oleh orang-orang primitif. Sains bersifat individual sedangkan agama
lebih bersifat sosial. Agama diungkapkan dalam mitos dan upacara yang mempunyai
makna sosial, dimana seluruh suku ambil bagian, sedangkan magi hanya merupakan
keadaan dimana seseorang mempergunakan sihir untuk memenuhi maksud tertentu.
Sains dalam tiap bentuknya hanya sekali datang dan dimiliki oleh
manusia. Sains harus diturunalihkan dalam pertalian langsung dari satu generasi
ke generasi berikutnya, sehingga magi selalu dikuasai oleh sekelompok
spesialisasi saja. Agama dimaksudkan untuk semua, dimana setiap orang bisa
ambil bagian serta aktif dengan peran yang sama. Pada saatnya mereka yang
diinisiasi akan menginisiasi, meratapi dan mengenang roh sebagai spirit.
Salah satu spesialisasi dari agama bukan profesi tetapi kharisma. Dasar
pada agama bersifat moral; harus berurusan atau menangani peristiwa-peristiwa
yang tidak bisa diatasi dan supernatural. Sehingga jika manusia keliru
menjalankannya tidak berpengaruh (ex opere operato). Pernyataan tentang alam
yang terdapat dalam agama bukanlah penyataan yang bersifat kognitif dan faktual
melainkan afektif dan simbolik. Agama tidak mengajarkan teori tentang alam
tetapi menghimbau agar manusia mempelajari alam dalam pernyataan simbolik yang
mampu ditafsirkan oleh manusia sesuai tingkat kemampuan berpikirnya.
Untuk memperjelas tentang pandangan
islam terhadap ilmu, diterangkan ayat-ayat berikut:
Beberapa firman Allah SWT:
QS. Az zumar:9
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih
beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan
berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat
Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah
yang dapat menerima pelajaran”.
QS,AliImran:18.
”
‘’Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat
dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan
(yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
QS. Al
Mujadalah :11
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka
lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
QS.Al-Fathir:28
“Dan demikian (pula) di antara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha
Pengampun”.
QS.At-taubat:122
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin
itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”
Demikianlah secara
sederhana dapat diprediksikan bahwa pandangan kaum agamawan terhadap sains dan
teknologi sangat lekat dengan kritik karena secara substansial mereka telah
menghegemoni sains yang dipersepsikan netral dan bebas nilai. Kecenderungan
akhir dari pewacanaan tersebut telah menyebabkan sains menjadi alat kuasa yang
jelas bisa ditebak bagaimana posisi agama dalam persinggungan wacana dengan
sains. Tapi secara arif sekali lagi diakui bahwa kebenaran sejati selalu
terbuka untuk dikritik dan difalsifikasi, dibongkar dan dipertanyakan, dan
selebihnya adalah secara alamiah mengiringi kebudayaan manusia. baiklah kalau
tidak sepakat, sejenak kita renungkan makna filosofis ungkapan Albert Einstein
"ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah hampa".
Hubungan Al-Qur’an dengan Ilmu Pengetahuan
Dalam kitabnya Jawahir Al-Qur’an,
Imam Al-Ghazali menerangkan pada bab khusus bahwa seluruh cabang ilmu
pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang
belum, semua bersumber dari al-Qur’an Al-Karim.[1]Membahas hubungan antara Al-Qur’an
dengan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat, misalnya, adakah teori
relativitas atau bahasan tentang angkasa luar; ilmu computer tercantum dalam
al-Qur’an; tetapi yang lebih utama adalah adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi
kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Qur’an
yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Dengan kata
lain, meletakkanya pada sisi ‘’social psychology’’(psikologi social) bukan pada
sisi ‘’history of scientific progress’’(sejarah perkembangan ilmu pengetahuan).
Anggaplah bahwa setiap ayat dari ke-6.226 ayat yang tercantum dalam Al-Qur’an
(menurut perhitungan kuffah) mengandung suatu teori ilmiah, kemudian apa
hasilnya? Apakah keuntungan yang diperoleh dengan mengetahui teori-teori
tersebut bila masyarakat tidak diberi ‘’hidayah’’ atau petunjuk guna kemajuan
ilmu pengetahuan atau menyingkirkan hal-hal yang dapat menghambatnya.
Malik bin Nabi di dalam kitabnya Intaj Al-Mustasyrikin wa At-saruhu fi
Al-fiqriy Al-hadits, menulis: ‘’Ilmu pengetahuan adalah sekumpulan masalah
serta sekumpulan metode yang dipergunakan menuju tercapainya masalah
tersebut.’’[2]
Selanjutnya beliau menerangkan : ‘’Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya
terbatas dalam bidang-bidang tesebut, tetapi tergantung pula pada sekumpulan
syarat-syarat psikologis dan sosial yang mempunyai pengaruh negatif dan positif
sehingga dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorongnya lebih
jauh’’.
Ini menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya dinilai
dengan apa yang dipersembahkanya pada masyarakat, tetapi juga diukur dengan
wujudnya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan itu.
Sejarah membuktikan bahwa Galileo, ketika mengungkapkan penemuanya bahwa
bumi ini beredar, tidak mendapat counter dari suatu lembaga ilmiah. Tetapi,
masyarakat tempat ia hidup malah memberikan tantangan kepadanya atas
dasar-dasar kepercayaan dogma, sehingga Galileo pada akhirnya menjadi korban
tantangan tersebut atau korban penemuanya sendiri. Hal ini akibat belum
terwujudnya syarat-syarat sosial dan psikologis yang disebutkan di atas. Dari
segi inilah kita dapat menilai hubungan Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan.
Di dalam Al-Qur’an tersimpul ayat-ayat yang menganjurkan untuk
mempergunakan akal pikiran dalam mencapai hasil. Allah berfirman: Katakanlah
hai Muhammad:’’Aku hanya menganjurkan kepadanya satu hal saja, yaitu berdirilah
karena Allah berdua-dua atau bersendiri-sendiri, kemudian berpikirlah.’’(QS
34;36).
Demikianlah Al-Qur’an telah membentuk satu iklim baru yang dapat
mengembangkan akal pikiran manusia, serta menyingkirkan hal-hal yang dapat
menhalangi kemajuanya.
Ayat-ayat di atas cukup memberi gambaran bahwa
menuntut ilmu adalah salah satu sisi dari ajaran islam. Dengan kata lain ilmu
dan agama tidaklah mungkin dipisahkan, pola berfikir dan bertindak memisah-misahkan
ilmu dan agama, memisahkan agama dengan urusan lainnya sama sekali tidak ada
dasarnya dalam islam. Dalam islam tidak ada orang-orang yang berfikiran
sekuler. Islam adalah suatu totalitas.
Dr. Maurice Bucaille (Dr. Ahli bedah Perancis)
dalam bukunya “La Bible Le Qoran Et La Science”(Bible, Qur’an dan Sains modern)
setelah mengemukakan bukti-bukti yang amat banyak dengan penyelidikan selama
kurang lebih 20 tahun menyimpulkan :
1.
Al Qur’an adalah wahyu ilahi yang murni.
2.
Al Qur’an masih asli.
3.
Al Qur’an sejarahnya amat terang sekali.
4.
Al Qur’an tidak mengandung suatu pernyataan yang dapat dikritik dari segi
pandangan ilmiyah dizaman modern ini.
5.
Dalam Al Qur’an agama dan ilmu pengetahuan selalu dianggap sebagai satu
kesatuan yang tak terpisahkan. Dari semula mempelajari ilmu pengetahuan menurut
Al Qur’an merupakan bagian dari kewajiban keagamaan.
Tentunya timbul suatu pertanyaan. Mengapa pada
sebagian orang yang mengaku dirinya islam,terdapat pola berpikir dan bertindak
sekule? Bukankah islam tidak memungkinkan sikap tadi?
Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu kiranya kita melihat kembali sejarah
pertentangan ilmu dan agama yang terjadi di dunia barat seperti yang
diterangkan sebelumnya. Setelah itu kita pelajari tentang penjajahan
bangsa-bangsa barat atas umat islam, pada masa kemunduran umat islam.
Pertama-tama kita lihat kembali sejarah
pertentangan ilmu dan agama yang terjadi didunia barat.
Problem yang sebenarnya terjadi di duniabarat
pada saat terjadi pertentangan tajam antar ilmu dan agama adalah dikarenakan
mereka tidak mendapatiagamanya sebagai suatu yang dapat mengimbangi tingkat
kecerdasan dan pengetahuan agama mereka yang dapat mendidik dan membuka alam
fikiran mereka serta mendorong mereka untuk mencapai kesempurnaan jasmani dan
rohani, kesejahteraan material spiritual.
Manusia pada zaman yang lalu ketika tingkat
pemikiran dan kecerdasannya masih rendah dapat saja menerima segala apa yang
disodorkan kepadanya agama atau kepercayaan tanpa merasa perluuntuk menyelidiki
dan mempertimbangkannya, walaupun apa yang disodorkankepadanya itu hal-hal yang
termasuk khurofat dan tahayul yang tidak dapat diterima oleh akal.
Hal yang demikian itu tidak berlaku lagi pada
masa dimana manusia hidup pada abad teknologi yang maju pesat. Ia menghendaki
agama yang dianutnya itu memuaskan akalnya dan dapat diterima oleh tingkat
kecerdasan otaknya, serta dapat pula mengimbangi kemajuan zaman. Dengan tiada menghalanginya
mengecap buah usahanya berupa kelezatan dan kebahagiaan rohani dan jasmani.
Tidak dikenalnya agama yang demikian sifatnya
itu adalah salah satu dari sebab yang menyebabkan para cendekiawan dan cerdik
pandai di dunia barat mempunyai saham tidak sedikit pembangunan dan pembinaan
peradaban barat berpaling dari agama dan hanya bersandar pada akal dan fikiran
dalam menilai segala sesuatu. Itulah awal timbulnya sekularisme.
. Peran
Agama terhadap Perkembangan Sains
Peran Islam dalam perkembangan iptek pada
dasarnya ada 2 (dua) Pertama,
menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu
pengetahuan. Paradigma inilah
yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada
sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan
landasan pemikiran (qa’idah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan.
Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu
pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan,
sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.
Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar
bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria
inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat
(pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Paradigma Hubungan Agama-Iptek Untuk memperjelas, akan disebutkan dulu beberapa pengertian
dasar. Ilmu pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang gejala alam yang
diperoleh melalui proses yang disebut metode ilmiah (scientific method) (Jujun
S. Suriasumantri, 1992). Sedang teknologi adalah pengetahuan dan ketrampilan
yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia sehari-hari
(Jujun S. Suriasumantri,1986). Perkembangan iptek, adalah hasil dari segala
langkah dan pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek
(Agus, 1999). Agama yang dimaksud di sini, adalah agama Islam, yaitu agama yang
diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, untuk mengatur hubungan manusia
dengan Penciptanya (dengan aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia dengan
dirinya sendiri (dengan aturan akhlak, makanan, dan pakaian), dan hubungan
manusia dengan manusia lainnya (dengan aturan mu’amalah dan uqubat/sistem
pidana) (An-Nabhani, 2001).
yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada
sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan
landasan pemikiran (qa’idah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan.
Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu
pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan,
sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.
Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar
bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria
inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat
(pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Paradigma Hubungan Agama-Iptek Untuk memperjelas, akan disebutkan dulu beberapa pengertian
dasar. Ilmu pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang gejala alam yang
diperoleh melalui proses yang disebut metode ilmiah (scientific method) (Jujun
S. Suriasumantri, 1992). Sedang teknologi adalah pengetahuan dan ketrampilan
yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia sehari-hari
(Jujun S. Suriasumantri,1986). Perkembangan iptek, adalah hasil dari segala
langkah dan pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek
(Agus, 1999). Agama yang dimaksud di sini, adalah agama Islam, yaitu agama yang
diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, untuk mengatur hubungan manusia
dengan Penciptanya (dengan aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia dengan
dirinya sendiri (dengan aturan akhlak, makanan, dan pakaian), dan hubungan
manusia dengan manusia lainnya (dengan aturan mu’amalah dan uqubat/sistem
pidana) (An-Nabhani, 2001).
paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang
bahwa agama adalah
dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu
pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam Al-Qur`an
dan Al-Hadits-- menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas
yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan
manusia (An-Nabhani, 2001).
dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu
pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam Al-Qur`an
dan Al-Hadits-- menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas
yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan
manusia (An-Nabhani, 2001).
Paradigma ini memerintahkan manusia untuk
membangun segala
pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa
kita pahami dari ayat yang pertama kali turun (artinya) :
pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa
kita pahami dari ayat yang pertama kali turun (artinya) :
Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. (QS Al-Alaq 96 ; 1)
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan
untuk membaca guna memperoleh
berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh
lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu
tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam
(Al-Qashash, 1995:81).
berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh
lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu
tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam
(Al-Qashash, 1995:81).
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata
putus dalam ilmu
pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit,
melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu
(Yahya Farghal, 1994:117). Firman Allah SWT (artinya) :
pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit,
melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu
(Yahya Farghal, 1994:117). Firman Allah SWT (artinya) :
Dan adalah
(pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu. (QS An-Nisaa`
4 : 126)
4 : 126)
Dan
sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (QS
Ath-Thalaq 65 : 12)
Ath-Thalaq 65 : 12)
Itulah paradigma yang dibawa Rasulullah SAW (w.
632 M) yang
meletakkan Aqidah Islam yang berasas Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah
sebagai asas ilmu pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah Islam lebih dulu,
lalu setelah itu menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar bagi
berbagai pengetahun. Ini dapat ditunjukkan misalnya dari suatu peristiwa ketika
di masa Rasulullah SAW terjadi gerhana matahari, yang bertepatan dengan
wafatnya putra beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata. Gerhana matahari ini
terjadi karena meninggalnya Ibrahim. Maka Rasulullah SAW segera menjelaskan :
meletakkan Aqidah Islam yang berasas Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah
sebagai asas ilmu pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah Islam lebih dulu,
lalu setelah itu menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar bagi
berbagai pengetahun. Ini dapat ditunjukkan misalnya dari suatu peristiwa ketika
di masa Rasulullah SAW terjadi gerhana matahari, yang bertepatan dengan
wafatnya putra beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata. Gerhana matahari ini
terjadi karena meninggalnya Ibrahim. Maka Rasulullah SAW segera menjelaskan :
Sesungguhnya
gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau
kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah.
Dengannya Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya (HR. Al-Bukhari dan An-Nasa`i) (Al-Baghdadi, 1996:10)
kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah.
Dengannya Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya (HR. Al-Bukhari dan An-Nasa`i) (Al-Baghdadi, 1996:10)
Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah SAW
telah meletakkan
Aqidah Islam sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa
fenomena alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada
hubungannya dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang
tertera dalam Al-Qur`an (artinya) :
Aqidah Islam sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa
fenomena alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada
hubungannya dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang
tertera dalam Al-Qur`an (artinya) :
Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.
(QS Ali Imran 3 :190)
siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.
(QS Ali Imran 3 :190)
Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah
Islam sebagai
dasar segala pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak
muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah
hasil dan prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat pada
masa kejayaan Ilmu pengetahuan Dunia Islam antara tahun 700 1400 M. Pada masa inilah dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur,
Al-Khawarzmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, Al-Battani (w.
858) sebagai ahli astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai pakar
kedokteran, ophtalmologi, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli
kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi (Tentang kejayaan iptek Dunia
Islam lihat misalnya M. Natsir Arsyad, 1992; Hossein Bahreisj, 1995; Ahmed dkk,
1999; Eugene A. Myers 2003; A. Zahoor, 2003; Gunadi dan Shoel.
dasar segala pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak
muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah
hasil dan prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat pada
masa kejayaan Ilmu pengetahuan Dunia Islam antara tahun 700 1400 M. Pada masa inilah dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur,
Al-Khawarzmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, Al-Battani (w.
858) sebagai ahli astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai pakar
kedokteran, ophtalmologi, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli
kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi (Tentang kejayaan iptek Dunia
Islam lihat misalnya M. Natsir Arsyad, 1992; Hossein Bahreisj, 1995; Ahmed dkk,
1999; Eugene A. Myers 2003; A. Zahoor, 2003; Gunadi dan Shoel.
AKIDAH TAUHID DALAM PRINSIP SAINS
Penemuan
penemuan dalam bidang sains dan teknologi mengenai alam, atom, manusia,
tumbuh-tumbuhan dan berbagai bidang industri telah banyak menyingkap keindahan
dan ketelitian ciptaan Allah SWT. Penemuan-penemuan dan rekaan-rekaan baru itu
menguatkan lagi ajaran aqidah tauhid dan mengukuhkan lagi keimanan orang-orang
mumin. Hasil-hasil kajian itu menunjukan kebesaran dan keluasan kodrat serta
ilmu Allah. Dibalik semua ciptaanNya yang indah ini pasti ada sang penciptanya
yang Maha besar dan Maha berkuasa.
1. Tauhid sebagai prinsip Sejarah
Tauhid menempatkan kita pada suatu kehidupan di mana kita harus hidup dengan
etika dalam peerbuatan maupun tindakan. Etika yang gimana? Yaitu etika yang
sebagai manusia yang bermoral dan beragama yang dapat diukur melalui
keberhasilan yang kita peroleh dalam mengisi ruang dan waktu, dalam dirinya
maupun dalam lingkungan dimana kita tinggal. Didalam al Quran telah menyebutkan
bahwa pembenaran kepada ciptaan Tuhan dimana kita harus menjalankan tugas
sebagai umatnya, Secara empatis al Quran menegaskan bahwa dunia adalah lapangan
bagi manusia untuk di manfaatkan oleh manusia dengan sebaik baiknya. Sejarah
merupakan peristiwa penting bagi umat Islam dan akan dipertanggungjawabkan
kelak nanti. Harus dipahami bahwa hasil akhir dari sejarah merupakan sebuah
konsekuensi bagi pelaku sejarah tersebut, baik merupakan tindakan pribadi
maupun kelompok. Dengan demikian Tauhid membimbing umat islam untuk memandang
dirinya sendiri sebagai pusat sejarah, Karena ialah satu-satunya wakil Tuhan
yang dapat membawa kehendak-Nya menuju terjadinya peristiwa Sejarah.
2. Metafisika
Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah tuhan yang indah. Sebagai
ciptaan, ia bersifat teleologis, sempurna, dan teratur sebagai anugerah, ia
merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa yang diperuntukan bagi manusia.
Tujuannya adalah untuk memungkinkan manusia untuk melakukan kebaikan dan
mencapai kebahagiaan. Dengan sendirinya tauhid merupakan sesuatu yang berhubungan
dengan penghapusan ketakutan yang bekerja di samping Tuhan. Tauhid mengumpulkan
seluruh benang yang rajut dan mengembalikan kepada Tuhan, bukan kepada kekuatan
lain. Tauhid di dalam Islam merupakan syarat bagi ilmu pengetahuan bukan
sebagai penghalang. Alam yang dipandang melalui Tauhid, sangat sesuai dan dapat
diamati secara ilmiah. Islam mengajarkan bahwa alam diciptakan untuk manusia
agar dapat berkembang, menikmati anugerah Tuhan dengan aturan-aturannya.
3. Psiko-sosial
Islam merupakan agama yang sesuai ruang dan waktu. Islam menghendaki agar
manusia dapat menenuhi kebutuhannya secara wajar, seperti makan, minum, rumah
yang nyaman, mengubah dunia menjadi sebuah taman yang indah, menikmati seks,
pesahabatan yang baik dalam kehidupan, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan
mengelola alam membangun hubungan social yang harmonis.
4. Tauhid sebagai etika
Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia yang paling baik dengan
tujuan untuk mengabdi kepadaNya. Amanat dari Tuhan tersebut merupakan pemenuhan
unsur etika dari kehendak ilahi yang sifatnya harus direalisasikan dengan
kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya mahluk yang dapat melakukan itu.
Tanggung jawab yang diberikan sama sekali tidak mengenal batas,mencakup segala unsur
secara universal.
5. Tauhid sebagai Estetika
Tauhid meupakan pemisahan secara ontologis antara Tuhan dan seluruh sifat alam.
Segala bentuk Ciptaan Allah adalah mahluk yang tidak transenden, serta tunduk
dan patuh terhadap hukum ruang dan waktu, Tauhid tidak betentangan dengan seni,
sebaliknya tauhid mendorong kita pada pengambangan nilai keindahan dalam
kehidupan. Nilai keindahan yang mutlak itu adalah diri Tuhan didalam firman
atau kehendak yang di firmankan-Nya.
Sumber dan Referensi : Ismail Raji al-Faruqi.
(foto:
http://tdjamaluddin.wordpress.com/)
Isra’
mi’raj bukanlah kisah perjalanan antariksa. Aspek astronomis sama sekali tidak
ada dalam kajian isra’ mi’raj. Namun, Isra’ mi’raj mengusik keingintahuan akal
manusia untuk mencari penjelasan ilmu. Aspek aqidah dan ibadah berintegrasi
dengan aspek ilmiah dalam membahas isra’ mi’raj. Inspirasi saintifik Isra’
Mi’raj mendorong kita untuk berfikir mengintegrasikan sains dalam aqidah dan
ibadah.
Mari kita mendudukkan masalah isra’ mi’raj sebagai mana
adanya yang diceritakan di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih. Kemudian
sekilas kita ulas kesalahpahaman yang sering terjadi dalam mengaitkan isra’
mi’raj dengan kajian astronomi. Hal yang juga penting dalam mengambil hikmah
peringatan isra’ mi’raj adalah menggali inspirasi saintifik yang
mengintegrasikan sains dalam memperkuat aqidah dan menyempurnakan ibadah.
Kisah dalam Al-Qur’an dan Hadits
Di dalam QS. Al-Isra’:1 Allah menjelaskan tentang
isra’: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi
Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah
Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Tentang mi’raj Allah menjelaskan dalam QS.
An-Najm:13-18: “Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat
Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha.
Di dekat (Sidratul Muntaha) ada surga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril)
ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak
berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya
dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling
besar.”
Sidratul
muntaha secara harfiah berarti ‘tumbuhan sidrah yang tak terlampaui’, suatu
perlambang batas yang tak seorang manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui
lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu.
Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur’an dan hadits yang menerangkan apa, di
mana, dan bagaimana sidratul muntaha itu.
Kejadian-kejadian sekitar isra’ dan mi’raj dijelaskan di
dalam hadits-hadits nabi. Dari hadits-hadits yang sahih, didapati rangkaian
kisah-kisah berikut. Suatu hari malaikat Jibril datang dan membawa Nabi, lalu
dibedahnya dada Nabi dan dibersihkannya hatinya, diisinya dengan iman dan
hikmah. Kemudian didatangkan buraq, ‘binatang’ berwarna putih yang langkahnya
sejauh pandangan mata. Dengan buraq itu Nabi melakukan isra’ dari Masjidil
Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina. Nabi SAW salat
dua rakaat di Baitul Maqdis, lalu dibawakan oleh Jibril segelas khamr (minuman
keras) dan segelas susu; Nabi SAW memilih susu. Kata malaikat Jibril, “Engkau
dalam kesucian, sekiranya kau pilih khamr, sesatlah ummat engkau.”
Dengan buraq pula Nabi SAW melanjutkan perjalanan memasuki
langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang dikanannya berjejer para ruh
ahli surga dan di kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit
ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya.
Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu
Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke
enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya baitul
Ma’mur, tempat 70.000 malaikat salat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali
memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi.
Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul
Muntaha didengarnya kalam-kalam (‘pena’). Dari sidratul muntaha dilihatnya pula
empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di surga, dua sungai fisik (dhahir)
di dunia: sungai Efrat dan sungai Nil. Lalu Jibril membawa tiga gelas
berisi khamr, susu, dan madu, dipilihnya susu. Jibril pun berkomentar, “Itulah
(perlambang) fitrah (kesucian) engkau dan ummat engkau.” Jibril mengajak Nabi
melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur’an surat
An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang
sebenarnya.
Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah salat
wajib. Mulanya diwajibkan salat lima puluh kali sehari-semalam. Atas saran Nabi
Musa, Nabi SAW meminta keringanan dan diberinya pengurangan sepuluh-sepuluh
setiap meminta. Akhirnya diwajibkan lima kali sehari semalam. Nabi enggan
meminta keringanan lagi, “Aku telah meminta keringan kepada Tuhanku, kini saya
rela dan menyerah.” Maka Allah berfirman, “Itulah fardlu-Ku dan Aku telah
meringankannya atas hamba-Ku.”
Urutan kejadian sejak melihat Baitul Ma’mur sampai menerima
perintah salat tidak sama dalam beberapa hadits, mungkin menunjukkan
kejadian-kajadian itu serempak dialami Nabi. Dalam kisah itu, hal yang fisik
(dzhahir) dan non-fisik (bathin) bersatu dan perlambang pun terdapat di
dalamnya. Nabi SAW yang pergi dengan jasad fisik hingga bisa salat di Masjidil
Aqsha dan memilih susu yang ditawarkan Jibril, tetapi mengalami hal-hal
non-fisik, seperti pertemuan dengan para Nabi yang telah wafat jauh sebelum
kelahiran Nabi SAW dan pergi sampai ke surga. Juga ditunjukkan dua sungai
non-fisik di surga dan dua sungai fisik di dunia. Dijelaskannya makna
perlambang pemilihan susu oleh Nabi Muhammad SAW, dan menolak khamr atau madu.
Ini benar-benar ujian keimanan, bagi orang mu’min semua kejadian itu benar
diyakini terjadinya. Allah Maha Kuasa atas segalanya.
“Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu:
“Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia”. Dan Kami tidak
menjadikan pemandangan yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai
ujian bagi manusia….” (QS. 17:60).
“Ketika orang-orang Quraisy tak mempercayai aku (kata Nabi
SAW), aku berdiri di Hijr (menjawab berbagai pertanyaan mereka). Lalu Allah
menampakkan kepada saya Baitul Maqdis, aku dapatkan apa yang aku inginkan dan
aku jelaskan kepada mereka tanda-tandanya, aku memperhatikannya….” (HR.
Bukhari, Muslim, dan lainnya).
Hakikat Tujuh Langit
Peristiwa isra’ mi’raj yang menyebut-nyebut tujuh langit mau
tak mau mengusik keingintahuan kita akan hakikat langit, khususnya berkaitan
dengan tujuh langit yang juga sering disebut-sebut dalam Al-Qur’an. Bila
kita dengar kata langit, yang terbayang adalah kubah biru yang melingkupi bumi
kita. Benarkah yang dimaksud langit itu lapisan biru di atas sana dan
berlapis-lapis sebanyak tujuh lapisan?
Warna biru hanyalah semu, yang dihasilkan dari hamburan
cahaya biru dari matahari oleh partikel-partikel atmosfer. Langit (samaa’ atau
samawat) berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar,
yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan
lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali
tidak ada.
Bilangan ‘tujuh’ sendiri dalam beberapa hal di
Al-Qur’an tidak selalu menyatakan hitungan eksak
dalam sistem desimal. Di dalam Al-Qur’an ungkapan ‘tujuh’ atau
‘tujuh puluh’ sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung.
Misalnya, di dalam Q.S. Al-Baqarah:261 Allah menjanjikan: “Siapa
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ibarat
menanam sebiji benih yang menumbuhkan tujuh tangkai yang
masing-masingnya berbuah
seratus butir. Allah melipatgandakan pahala orang-orang
yang dikehendakinya….” Juga di dalam Q.S. Luqman:27: “Jika seandainya semua
pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi
tintanya dan ditambahkan tujuh lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat
Allah….” Jadi ‘tujuh langit’ lebih mengena bila difahamkan
sebagai tatanan benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya,
bukan sebagai lapisan-lapisan langit.
Lalu, apa hakikatnya langit dunia, langit ke dua, langit ke
tiga, … sampai langit ke tujuh dalam kisah isra’ mi’raj? Mungkin ada
orang mengada-ada penafsiran, mengaitkan dengan astronomi. Para penafsir dulu
ada yang berpendapat bulan di langit pertama, matahari di langit ke
empat, dan planet-planet lain di lapisan lainnya. Kini ada sembilan planet yang
sudah diketahui, lebih dari tujuh. Tetapi, mungkin masih ada orang yang ingin
mereka-reka. Kebetulan, dari jumlah planet yang sampai saat ini kita ketahui,
dua planet dekat matahari (Merkurius dan Venus), tujuh lainnya –termasuk bumi–
mengorbit jauh dari matahari.
Pengertian
langit dalam kisah isra’ mi’raj bukanlah pengertian langit secara fisik.
Karena, fenomena yang diceritakan Nabi pun bukan fenomena fisik, seperti
perjumpaan dengan para Nabi yang hakikatnya telah wafat. Langit dan Sidratul
Muntaha dalam kisah isra’ mi’raj adalah alam ghaib yang tak bisa kita ketahui
hakikatnya dengan keterbatasan ilmu manusia. Hanya Rasulullah SAW yang
berkesempatan mengetahuinya. Isra’ mi’raj adalah mu’jizat yang hanya diberikan
Allah kepada Nabi Muhammad SAW.
Perjalanan Keluar Dimensi Ruang Waktu
Isra’ mi’raj jelas bukan perjalanan seperti dengan pesawat
terbang antarnegara dari Mekkah ke Palestina dan penerbangan antariksa dari
Masjidil Aqsha ke langit ke tujuh lalu ke Sidratul Muntaha. Isra’ Mi’raj adalah
perjalanan keluar dari dimensi ruang waktu. Tentang caranya, iptek tidak dapat
menjelaskan. Tetapi bahwa Rasulullah SAW melakukan perjalanan keluar ruang
waktu, dan bukan dalam keadaan mimpi, adalah logika yang bisa menjelaskan
beberapa kejadian yang diceritakan dalam hadits shahih. Penjelasan perjalanan keluar
dimensi ruang waktu setidaknya untuk memperkuat keimanan bahwa itu sesuatu yang
lazim ditinjau dari segi sains, tanpa harus mempertentangkannya dan
menganggapnya sebagai suatu kisah yang hanya dapat dipercaya saja dengan iman.
Kita hidup di alam yang dibatas oleh dimensi ruang-waktu
(tiga dimensi ruang –mudahnya kita sebut panjang, lebar, dan tinggi –, serta
satu dimensi waktu ). Sehingga kita selalu memikirkan soal jarak dan waktu.
Dalam kisah Isra’ mi’raj, Rasulullah bersama Jibril dengan wahana “buraq”
keluar dari dimensi ruang, sehingga dengan sekejap sudah berada di Masjidil
Aqsha. Rasul bukan bermimpi karena dapat menjelaskan secara detil tentang
masjid Aqsha dan tentang kafilah yang masih dalam perjalanan. Rasul juga keluar
dari dimensi waktu sehingga dapat menembus masa lalu dengan menemui beberapa
Nabi. Di langit pertama (langit dunia) sampai langit tujuh berturut-turut
bertemu (1) Nabi Adam, (2) Nabi Isa dan Nabi Yahya, (3) Nabi Yusuf, (4) Nabi
Idris, (5) Nabi Harun, (6) Nabi Musa, dan (7) Nabi Ibrahim. Rasulullah SAW juga
ditunjukkan surga dan neraka, suatu alam yang mungkin berada di masa depan,
mungkin juga sudah ada masa sekarang sampai setelah kiamat nanti.
Sekadar analogi sederhana perjalanan keluar dimensi ruang
waktu adalah seperti kita pergi ke alam lain yang dimensinya lebih besar.
Sekadar ilustrasi, dimensi 1 adalah garis, dimensi 2 adalah bidang, dimensi 3
adalah ruang. Alam dua dimensi (bidang) dengan mudah menggambarkan alam satu
dimensi (garis). Demikian juga alam tiga dimensi (ruang) dengan mudah
menggambarkan alam dua dimensi (bidang). Tetapi dimensi rendah tidak akan
sempurna menggambarkan dimensi yang lebih tinggi. Kotak berdimensi tiga tidak
tampak sempurna bila digambarkan di bidang yang berdimensi dua.
Sekarang bayangkan ada alam berdimensi dua (bidang)
berbentuk U. Makhluk di alam “U” itu bila akan berjalan dari ujung satu ke
ujung lainnya perlu menempuh jarak jauh. Kita yang berada di alam yang
berdimensi lebih tinggi dengan mudah memindahkannya dari satu ujung ke ujung
lainnya dengan mengangkat makhluk itu keluar dari dimensi dua, tanpa perlu
berkeliling menyusuri lengkungan “U”.
Alam malaikat (juga jin) bisa jadi berdimensi lebih tinggi
dari dimensi ruang waktu, sehingga bagi mereka tidak ada lagi masalah jarak dan
waktu. Karena itu mereka bisa melihat kita, tetapi kita tidak bisa melihat
mereka. Ibaratnya dimensi dua tidak dapat menggambarkan dimensi tiga, tetapi
sebaliknya dimensi tiga mudah saja menggambarkan dimensi dua. Bukankah isyarat
di dalam Al-Quran dan Hadits juga menunjukkan hal itu. Malaikat dan jin tidak
diberikan batas waktu umur, sehingga seolah tidak ada kematian bagi mereka.
Mereka pun bisa berada di berbagai tempat karena tak dibatas oleh ruang.
Rasulullah bersama jibril diajak ke dimensi malaikat,
sehingga Rasulullah dapat melihat Jibril dalam bentuk aslinya (baca QS
53:13-18). Rasul pun dengan mudah pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya,
tanpa terikat ruang dan waktu. Langit dalam konteks istra’ mi’raj pun bukanlah
langit fisik berupa planet atau bintang, tetapi suatu dimensi tinggi. Langit
memang bermakna sesuatu di atas kita, dalam arti fisik maupun non-fisik.
Sains Terintegrasi dengan Aqidah dan Ibadah
Bagaimanapun ilmu manusia tak mungkin bisa menjabarkan
hakikat perjalanan isra’ mi’raj. Allah hanya memberikan ilmu kepada manusia
sedikit sekali (QS. Al-Isra: 85). Hanya dengan iman kita mempercayai bahwa
isra’ mi’raj benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah SAW. Rupanya,
begitulah rencana Allah menguji keimanan hamba-hamba-Nya (QS. Al-Isra:60) dan
menyampaikan perintah salat wajib secara langsung kepada Rasulullah SAW.
“…dan
(ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: ‘Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu
meliputi segala manusia’ dan Kami tidak menjadikan penglihatan (saat isra’
mi’raj) yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi
manusia …”
Pemahaman dengan pendekatan konsep ektra dimensi sekadar
pendekatan sains untuk merasionalkan konsep aqidah terkait isra’ mi’raj, walau
belum tentu tepat. Tetapi upaya pendekatan saintifik sering dipakai sebagai
dalil aqli (akal) untuk memperkuat keyakinan dalam aqidah Islam. Sains
seharusnya tidak kontradiktif dengan aqidah dan aqidah bukan hal yang bersifat
dogmatis semata, tetapi memungkinkan dicerna dengan akal. Mengintegrasikan
sains dalam memahami aqidah dapat menghapuskan dikhotomi aqidah dan sains,
karena Islam mengajarkan bahwa kajian sains tentang ayat-ayat kauniyah tak
terpisahkan dari pemaknaan aqidah.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS
3:190-191).
Pada sisi lain isra’ mi’raj mengajarkan makna mendalam dalam
hal ibadah. Makna penting isra’ mi’raj bagi ummat Islam ada pada keistimewaan
penyampaian perintah salat wajib lima waktu. Ini menunjukkan kekhususan salat
sebagai ibadah utama dalam Islam. Salat mesti dilakukan oleh setiap Muslim,
baik dia kaya maupun miskin, dia sehat maupun sakit. Ini berbeda dari ibadah
zakat yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang mampu secara ekonomi, atau
puasa bagi yang kuat fisiknya, atau haji bagi yang sehat badannya dan mampu
keuangannya.
Salat lima kali sehari semalam yang didistribusikan di
sela-sela kesibukan aktivitas kehidupan, mestinya mampu membersihkan diri dan
jiwa setiap Muslim. Allah mengingatkan:
“Bacalah
apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan)
keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat)
adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.
Al-Ankabut:45).
Isra’ dan mi’raj juga memberikan inspirasi untuk merenungi
makna ibadah shalat, termasuk aspek saintifiknya. Umat Islam telah membuktikan
bahwa sains pun bisa diintegrasikan dalam urusan ibadah, untuk menyempurnakan
pelaksanaan ibadah. Demi kepentingan ibadah shalat, umat Islam mengembangkan
ilmu astronomi atau ilmu falak untuk penentuan arah kiblat dan waktu shalat.
Tuntutan ibadah mendorong kemajuan sains astronomi pada awal sejarah Islam.
Kini astronomi telah menjadi alat bantu utama dalam penentuan arah kiblat dan
waktu shalat. Konsepsi astronomi bola digunakan untuk penentuan arah kiblat.
Perhitungan posisi matahari digunakan untuk mencari waktu istimewa dalam
penentuan arah kiblat dan jadwal shalat harian. Kita cukup melihat jadwal
shalat, tidak lagi direpotkan harus melihat langsung fenonema cahaya matahari
atau bayangannya setiap akan shalat. Kini semua ummat Islam Indonesia, apa pun
ormasnya, secara umum bisa bersepakat dengan kriteria astronomis dalam
penyusunan jadwal shalat.
Inspirasi pemanfaatan sains dalam ibadah juga diperluas
untuk ibadah-ibadah lainnya terkait dengan penentuan waktu. Penentuan awal
Ramadhan dan hari raya kini sudah banyak memanfaatkan pengetahuan astronomi
atau ilmu falak, baik untuk keperluan perhitungannya (hisab) maupun untuk
pengamatannya (rukyat). Penentuan awal Ramadhan atau hari raya yang kadang
berbeda saat ini bukan lagi disebabkan oleh perbedaan metode hisab dan rukyat,
tetapi lebih disebabkan oleh perbedaan kriteria astronomisnya. Alangkah
indahnya kalau pelajaran kesepakatan kriteria astronomis dalam penentuan jadwal
shalat juga diterapkan untuk penentuan awal Ramadhan dan hari raya sehingga
potensi perbedaan dapat dihilangkan. Tanpa kesepakatan kriteria itu, tahun ini
dan beberapa tahun ke depan kita akan menghadapi lagi persoalan perbedaan awal
Ramadhan dan hari raya.
Upaya menuju titik temu kriteria astronomi sudah mulai
dilakukan. Tinggal selangkah lagi kita bisa mendapatkan kriteria hisab rukyat
Indonesia yang mempersatukan umat. Isra’ mi’raj pun mengajarkan upaya menuju
“titik temu” menurut cara pandang manusiawi antara Allah dan Rasullah terkait
dengan jumlah shalat wajib yang semula 50 kali menjadi 5 kali sehari semalam.
Satu sisi itu menunjukkan kemurahan Allah, tetapi pada sisi lain kita bisa
mengambil pelajaran bahwa kompromi untuk mencapai titik temu adalah suatu
keniscayaan. Kita tidak boleh memutlakkan pendapat kita seolah tidak bisa
berubah, termasuk untuk mencapai titik temu. Kriteria astronomis hisab rukyat
juga bukan sesuatu yang mutlak, mestinya bisa kita kompromikan untuk
mendapatkan kesepakatan ada ada ketentraman dalam beribadah shaum Ramadhan dan
ibadah yang terkait dengan hari raya (zakat fitrah, shalat hari raya, Shaum di
bulan Syawal, shaum Arafah)
Isra’
mi’raj memberikan inspirasi mengintegrasikan sains dalam memperkuat aqidah dan
menyempurnakan ibadah, selain mengingatkan pentingnya shalat lima waktu.
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN
SUMBER
Komentar
Posting Komentar