Seabadi Bunga Edelweis..



Seabadi Bunga Edelweis..

(Sebuah Cerpen)
Sore itu, aku berjalan sendirian menyisir lereng gunung yang landai, penuh dengan rumput dan tanaman-tanaman kecil.  Tak jauh dari tempatku, ada abu vulkanik cukup tebal yang akan berbahaya jika terhisap. Tentu aku memakai masker. Gelapnya hutan di sebelah kiri gunung membuatku penasaran ingin memasukinya. 

*****
            Aku terlalu tertutup untuk mendekati seorang wanita. Teman-temanku seringkali mendorong agar aku segera menggeser status dan mengisi hari-hari yang berbeda bersama seseorang.
Dulu, aku pernah menunjukkan sisi lainku yang berbeda dari biasanya. Menjadi seorang yang ramai dan senang kumpul-kumpul dengan teman-teman atau sekedar nongkrong sepulang sekolah. Kadang bermain atau menjahili teman-teman wanita seperti anggota “The Rolls” (sebutan untuk genk-ku) yang lainnya. Itu.. membuatku nampak sedikit “liar”. Aku ingat seorang kawan yang takjub melihat perubahanku pertama kali, ia mengatakan, “Bro, gini dong dari dulu, cool man! Lu tuh ganteng, sayang kalo cupu dan kaku ntar lo ga kliatan unyu2 ahaha”. Cukup geli aku mendengarnya, kubalas dengan lawakan ‘pecicilan’ pula, mereka tertawa.
            Seperti terbang atau lepas keluar dari dalam diri. Seperti itulah yang kurasakan saat menjalani “sisi lainku”. Banyak orang mendekat untuk sekedar menyapa hingga bercanda. Kawan-kawanku sering mengajakku kemana pun kadang sekedar nongkrong di café langganan dimana terdapat seorang waitress cantik yang ditaksir kawanku. Di sana pula pertama kalinya aku mencoba shisha hingga terbatuk-batuk. Teman-teman memaksaku yang tak pernah merokok untuk mencobanya. Itulah pertama kali asap masuk ke rongga paru-paruku. Aku masih sensitif, hingga beberapa hari setelahnya aku masih dapat merasakan aroma strawberry dari asapnya. Aku tetap tak tertarik untuk merokok. Bukan karena iklan bahaya merokok yang justru terlihat aneh karena ditampilkan seiring dengan promosi rokok itu sendiri, tapi memang lidahku sepertinya tidak cocok untuk merokok.
            Di masa-masa liar itu pun aku mencicipi seperti apa pacaran. Jalan-jalan, berkencan, saling berkirim pesan.. tapi itu tak bertahan lama. Aku bosan menjalani semua itu. Selain itu.. aku kasihan pada gadis yang bernasib menjadi pacarku yang nonsense perasaan padanya. Lalu darimana aku mulai berpacaran. Kau tau jawabannya.. ya, kawan-kawanku yang merancang semuanya.
            Selama beberapa bulan, aku berperilaku di luar kebiasaanku.. benar-benar seperti bukan aku yang dikenal keluarga atau kawan yang pernah berteman denganku. Karena ingin merasakan sesuatu yang lain, aku menanggalkan pakaian introvert­ku. Tidak.. sebenarnya tidak tanggal, hanya topeng extrovert sedang ku pakai-Istilah-istilah itu pernah ku baca di sebuah buku tentang kepribadian- Jujur, aku lelah menjadi orang lain hanya untuk dapat berbaur dengan genk atau apalah sejenisnya. Tak bertahan lama, aku kembali menjadi diriku biasanya. Pendiam dan lebih suka mendengarkan. Gerombolan itu tentu “protes” atas aksiku itu. Tapi kutekankan pada mereka dengan caraku sendiri, bahwa aku yang sebenarnya adalah yang berteman dengan angin atau bicara kepada langit. Kiasan yang menyebalkan bagi mereka. Ternyata dengan keadaanku yang pendiam dan flamboyan, aku masih dianggap bagian dari mereka. “The Rolls”.  Ada keuntungan yang didapat mereka dengan tetap menjadikanku bagiannya yaitu PR Bahasa Indonesia dan seni musik. Haha.
            Itu dulu, saat aku menjalani masa SMA yang penuh gejolak transisi. Kini, aku masih bersama mereka. The Rolls, yang membawaku ikut serta menjejaki gunung semeru dengan segala kejaibannya. Jika mereka tak memaksa, mungkin aku tak kan pernah dapat melihat keindahan ranu kumbolo hingga mencapai puncak mahameru yang tak ada duanya. Dan juga.. aku tak kan pernah bertemu dengan bunga Edelweis..
Bunga Edelweis memang indah.. seindah gadis yang memberikannya padaku. Namanya pun sama. Ya, Edelweis, gadis itu memiliki bulu mata yang membuatmu tersenyum jika melihatnya berkedip. Rambutnya panjang, hitam dan ikal. Manis sekali.. kulitnya putih dan halus seperti bintang iklan. Jika aku seorang produser akan kubawa dia ke Jakarta dan mempromosikannya. Waktu itu kupikir ia gadis kota yang tersesat sendirian di tengah hutan. Ternyata bukan, padahal baru saja mau kuculik.. Hehe. Aku pun terkejut saat mengetahui bahwa ia tinggal di kaki gunung yang jauh dari pemukiman penduduk. Aku bertemu dengannya ketika tak sengaja berjalan ke hutan setelah turun gunung. Itu pun menjadi kali pertama aku mengagumi gunung Mahameru yang begitu indah dengan segala keajaiban di dalamnya, juga karena gadis itu.. Hanya sesaat.. tapi membuatku terus bermimpi..
The Rolls tak sempat bertemu atau sekedar melihat Edelweiss. Pertemuan kami kala itu “amat singkat” dan aku sedang tak bersama mereka. Pantas jika mereka tak kan percaya tentang pertemuanku dengan Edelweiss. Tapi melihat seikat bunga yang kupegang, mereka ragu. Bahkan salah satu kawanku mengatakan yang kutemui adalah hantu. Haha.
Waktu itu aku tak sempat mengunjungi rumahnya.. bahkan tak tahu di mana tempat itu. Ia hanya mengatakan ayahnya adalah seorang penjaga gunung yang tinggal tak jauh dari kaki gunung.  Sungguh aku menyesal mengapa lekas pulang..
Untung saja aku masih menyimpan alamat pak Tua dimana Edelweis tinggal. 6 bulan berlalu, aku berencana cuti kerja dan pergi ke gunung Semeru, untuk… menemui gadis itu.

****
Percakapan yang kami lakukan waktu itu, aku selalu mengingatnya.. entah mengapa, bahkan hampir kata per kata yang ia ucapkan, aku ingat.
            “Hidup adalah rangkaian resiko yang mesti kau ambil, seperti resiko yang ku ambil untuk menetap di gunung dan tinggal dengan orang tua angkatku. Jauh dari keramaian dan pemukiman, oleh karena itu aku tak banyak berteman bahkan tak punya teman manusia..”
            “tidak dengan manusia? Maksudmu temanmu hantu? Kamu bercanda Edelweiss..”
            “tidak, aku bersungguh, aku berteman dengan mereka. Hantu-hantu itu telah menjadi bagian dari hari-hariku, mereka seringkali membantuku menghilangkan bosan.. kadang datang lewat mimpiku, dalam bentuk peri-peri atau hal-hal yang ingin kulakukan”
            “Maksudmu...?”
            “Mereka khayalanku”
            Aku terdiam, sekaligus lega karena bukan hantu betulan yang ia maksudkan.
            “tanaman-tanaman itu... kau lihat? Mereka adalah teman-teman sekaligus guruku. Mereka mengajarkaku banyak hal..” Edelweiss memulai pembicaraan kembali.
            “Banyak hal? Contohnya?” aku semakin tertarik pada gadis ini.
            Edelweiss mengambil kerikil lalu “pletak!“ ia melempar kerikil itu pada kakiku. “Au, apa yang kamu lakukan?” aku keheranan.
“Lihatlah pohon mangga, saat kau melempar batu, apakah ia membalas dengan batu? Atau mematahkan batangnya untuk membuatmu kesakitan? Tidak.. ia malah memberikanmu buah mangganya, tapi jika kau kulempari batu, yakin kau tidak akan membalasnya?” ia tertawa kecil.
“aku tidak membalasnya” jawabku membela diri.
“ya tapi kau mengerang” haha iya benar. Edelweiss benar.. tentang pohon mangga itu.. aku kagum, ia memiliki pemikiran yang mendalam pada sesuatu. Terlebih mengambil pelajaran dari hal itu.
“Kenapa kamu pilih untuk tinggal dan menetap di hutan? Yaa aku pikir sih kamu bisa merantau ke kota, mengenal banyak hal di sana. Tidakkah kamu tertarik dengan kehidupan di luar sana?” aku ingin mengetahui tentangnya lebih dalam.
“hmm tidak, mau di kota atau di sini menurutku sama saja, aku pikir yang terpenting adalah bagaimana kita menggunakan hidup selama kita hidup”
“Bagaimana kamu menggunakan hidup?” aku benar-benar dibuat penasaran.
“kamu.. mau tau? Mau tau aja apa mau tau bangeett...?”
Hahahaha kami tertawa bersama, kupikir akan seserius percakapan selanjutnya.
“Aku khawatir jika kujawab keningmu makin mengkerut huft hehe, barusan saja sudah semengkerut pohon jambu itu”
“haha kau bisa saja. Keningku memang suka mengkerut sendiri”
“maksudnya mengkerut sendiri, jadi tugas keningmu tak bisa kau atur?”
“ahaha tidak, bukan begitu..... haha” aku tertawa atas pertanyaannya yang memang tak bisa di sangkal. Gadis itu tersenyum amat manis, dan anggun.. kupikir tidak berlebihan rasanya jika kukatakan senyuman seperti yang dimiliki Edelweiss belum pernah kutemukan sebelumnya.
Gadis itu menerawang, cukup lama kami sama-sama terdiam dan tak melanjutkan percakapan. Hening membuatku sedikit canggung.
“Hmmm jadi.. apa hal yang membuatmu tidak tertarik untuk ke kota? Paling tidak.. siapa tahu jodohmu ada di sana”
“Hmm haha, aku pernah ke kota bersama ayahku, tapi.. aku tak suka, udara di kota tak senyaman di sini, lagi pula, di kota ribut. Dan.. tentang jodoh.. aku tak begitu memikirkannya, aku yakin, bila saatnya tiba, ia akan datang sendiri”
Uhuk, spontan aku terbatuk saat Edelweiss mengucapkan kalimat terakhirnya. Kurasa aku menemukan celah untuk mengetahui hal yang lebih pribadi darinya.
“Hmm.. pernahkah kau jatuh cinta?”
Tidak menjawab pertanyaanku, ia malah tersenyum.
“Aku jatuh cinta setiap hari..”
“setiap hari?” tanyaku dengan kening mengkerut.
“Setiap aku bangun tidur membuka mata, aku jatuh cinta pada matahari yang berwarna oranye di ufuk timur sana. Setiap pagi, aku jatuh cinta pada Ibu yang memasakkan makanan untuk keluarga. Aku jatuh cinta setiap waktu pada ayahku yang bekerja seharian di ladang. Aku jatuh cinta pada semua yang mengisi hari-hariku” jawab Edelweiss, kulihat ketulusan memancar dari kedua matanya.
            Banyak sekali yang kami bincangkan sore itu, hingga bertukar pengalaman yang berkesan. Aku melihat jam, tak terasa sudah pukul enam sore.  
“hmm.. mengapa waktu begitu cepat berlalu.. “ kataku saat itu.
            “ada apa? Kamu ingin beranjak?” tanyanya.
“iya.. padahal aku masih ingin mendengar kisahmu..”
“Tak apa, kau duluanlah.. aku masih ingin disini.. bersama teman-temanku”
“Aku akan menemuimu lagi..”
Edelweis tersenyum, agak berat langkahku untuk pergi. Selain karena tak tega membiarkannya sendirian, aku betah duduk di sana. Setelah membalas senyumnya, aku perlahan pergi.. kulihat pesan di Handphone-ku, banyak sekali. The Rolls mencariku.
****
Tak dapat kugambarkan bagaimana perasaanku dapat kembali ke semeru, menikmati keindahannya, juga bertemu gadis yang telah membuatku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Edelweiss bercerita ia hanya sekolah hingga SMA di sebuah sekolah cukup jauh dari lereng gunung. dengan sepeda yang “mengantarnya” pergi dan pulang. Ia pun bercerita bahwa ia tak memiliki cita-cita apa pun selain menulis. Menuliskan hal-hal yang dapat ia pelajari dari lingkungan, alam dan kehidupan.. menulis berbagai kisah yang ia khayalkan. Tujuannya hanyalah dapat bermanfaat bagi sesama lewat tulisannya, entah untuk menghibur atau sekedar berbagi berbagai pandangan dan kejadian hidup.
Aku membawakan beberapa buku bacaan ku yakin ia akan suka. Aku juga menyiapkan sebuah kado kecil.. di dalamnya, ada seluruh perasaanku..

****
“Edelweis menitipkan ini untukmu.. ia yakin kau akan datang..” Ayahnya memberiku sebuah surat, di sana terdapat namaku dengan tulisan tangan yang nampak bergetar.. kini, aku berada di tempat tinggal Edelweis, tak dapat ku gambarkan bagaimana perasaanku.. aku merasa tak menapak bumi..
“Gadis itu amat baik, ia tak pernah mengeluh atas apa yang menimpanya, juga kondisinya.. hingga saat terakhir hidupnya..”
Hatiku perih mendengar kisah yang dituturkan ayahnya. Mengapa ia tak cerita jika akan pergi? Aku.. tak dapat berkata apapun.. dipikiranku hanyalah hutan tempat kami pertama kali bertemu..
Aku berjalan sendirian menyisir lereng gunung yang landai, penuh dengan rumput dan tanaman-tanaman kecil.  Tak jauh dari tempatku, ada abu vulkanik cukup tebal yang akan berbahaya jika terhisap. Tentu aku memakai masker. Gelapnya hutan di sebelah kiri gunung membuatku penasaran ingin memasukinya. 

Kubuka surat dari seorang gadis yang bergetar lidahku bila kusebut namanya..

Seabadi bunga Edelweis.. begitulah perasaanku sejak pertama bertemu denganmu.. kau bertanya tentang cinta, tak perlu ku jawab karena saat menulis ini aku sedang merasakannya.. kapan kau akan kembali dan kita saling bercerita? “hantuku” selalu yakin kau akan kemari dan membawakanku sebuah kado kecil.. mengingatkanku bahwa hidupku begitu berarti.. aku tahu, saat kau  membaca surat ini jasadku tak ada lagi di sana, tak ada lagi untuk sekedar bercanda.. namun kau tahu? seabadi bunga Edelweis.. jiwaku selalu bersama..  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

UNDAK USUK BASA SUNDA

Psikologi Transpersonal, Agama dan Being Transpersonal

A story (Cinta Sejati Air dan Api)