Bangun Pagi, Jujur Pada Diri Sendiri, Berbagi dengan Anak Yatim = Bahagia
Ada banyak hal hari ini yang ingin aku
bagikan pada kalian. Tentang … kebahagiaanku. Hari ini, aku bahagia. Aku sangat
bersyukur.
22 November 2020. Aku terbangun dengan mata yang kantuk. Namun aku paksakan bangun karena aku malu
jika aku masih tertidur di saat murid-murid mengajiku (yang kebetulan menginap
di rumahku) sudah bangun sekitar pukul 3.30 pagi. Aku sambung sholat tahajud
dan siap-siap menyambut subuh. By the way, aku sangat berterima kasih pada
mereka karena telah menginap, kehadiran mereka membuat rasa maluku mencuat
jika tidak bisa memberi contoh yang baik.
Aku punya kebiasaan buruk yang melekat bertahun-tahun. Terkadang aku bisa melawannya, namun seringkali gagal. Tidur
selepas subuh. Saat berdzikir, biasanya mataku tetiba menjadi berat dan tahu-tahu
posisiku yang asalnya duduk menjadi nungging. Ah sudahlah. Tolong jangan
dibayangkan. Terbayang? Ya sudah tak apa. Itu terus terjadi seperti itu, selama
beberapa tahun, terlebih setelah lulus
kuliah. Sekitar 3 tahun yang lalu. Ah betapa malasnya aku ini. Astaghfirullah. Dan
kehadiran murid-murid itu … membuatku malu untuk tidur. Sehingga, meski berat,
aku memaksakan diri untuk bangun. Di samping itu, ada dorongan begitu kuat
dalam diriku untuk berubah lebih baik. Mungkin sudah waktunya aku betul-betul
mengubah pola-pola lama.
Benar apa kata Nabi SAW tentang bangun
pagi. Berhasil melawan kantuk dan menghirup udara segar di pagi hari ternyata
membawa kebahagiaan. Aku senang sekali berhasil melawan beratnya mataku. Rasanya
seperti mencetak goal. I did it! Hehe. Alhamdulillah. Hope I can do this again
tomorrow, and tomorrow again. Aku sadar, aku yang terbiasa tidur di jam yang
seharusnya produktif, tidak bisa dulu mengerjakan pekerjaan yang kurang
bergerak. Rasa kantuk yang luar biasa dahsyat pasti datang melanda. Sehingga aku
memilih untuk belanjar bahan masakan, mencuci piring, menanak nasi dan kegiatan
lain yang membutuhkan banyak gerakan. Tahu rasanya seperti apa? Membahagiakan! Aku
merasa diriku berfungsi dengan semurna. Alhamdulillah. Kini aku tahu arti
bekerja itu mendatangkan rasa bahagia. Seperti itu ternyata.
Hari ini pula, aku ada kegiatan berbagi
dengan anak-anak yatim The Next Leader. Alhamdulillah aku menjadi salah satu pembina
di acara itu. Kalian tahu? Betul apa kata Rasulullah tentang mencintai anak
yatim. Mencintai dan berbagi dengan mereka itu menyenangkan. Dan tahu apa? Ada banyak
berkah serta perubahan-perubahan lebih baik yang terjadi di hidupku. Aku akan
cerita ini lebih lanjut, nanti. Sebelumya, aku ingin berbagi dulu tentang
kejadian sebelum kegiatan dimulai. Hehe. tak apa ya?
Kawan, aku punya luka batin yang bisa
diistilahkan dengan “rejection” atau penolakan. Luka batin yang cukup berat di
awal-awal kehidupanku. Singkat cerita, luka ini membuatku seringkali merasa
tersisih dan sangat sensitif dengan penolakan atau pengabaian. Aku bisa sangat
down, atau cemas berlebih yang mengakibatkan aku cukup sulit berpikir. Parah ya?
Begitulah. Bertahun-tahun aku berjuang dengan luka ini. Percaya aku pernah mengalami depresi?
Namun Alhamdulillah, berkat izin dan pertolongan Allah, perlahan aku sembuh. Meski
kini aku masih menjalani terapi, semua itu aku nikmati sebagai bagian dari proses
“masuk” dan mengenal diri lebih baik lagi.
Barusan, luka itu sedikit “terusik”. Membuat
ulu hatiku sakit dan mood ku sangat labil. Aku ingin sekali marah-marah. Ingin aku
serang semua orang di seluruh dunia. Lebay ya. Tapi memang sesakit itu dan
semarah itu. Aku memaki dan ketakutan dalam hati. Semua itu aku akui. Segala dorongan
dan bisikan (hingga sisi yang paling menyeramkan dalam diriku) semua aku akui. Dengan
jujur, tanpa kecuali. Tak lupa, aku banyak-banyak beristighfar. Agar setiap
bisikan buruk yang hinggap tidak sampai meracuni kewarasanku. Kita harus tetap
waras, bukan? Apalagi di zaman sekarang ini.
Aku tulis setiap luapan emosi itu dalam
status WA yang ku privasi. Betul-betul banyak sekali pikiran dan perasaan negatif.
Namun sekali lagi, semua itu dengan jujur aku akui. Aku ingat ilmu psikologi yang mengatakan
bahwa “mengakui itu menyembuhkan”. Seperti yang kita ketahui, bahwa jujur itu
pahit, tapi buahnya manis. Begitu pun dengan jujur pada diri sendiri. Mungkin akan
ada banyak hal kurang menyenangkan yang kita temui dan rasakan saat berusaha
jujur pada diri sendiri. Namun percayalah, semua itu menyembuhkan. Kalian akan menemukan banyak “keajaiaban” setelah
memperbanyak jujur pada diri sendiri. Rasa “konek” atau terhubung dengan diri sendiri semakin dalam, dan kita
seringkali akan lebih “ngeh” dan aware dengan diri kita, bahkan orang
lain.
Beberapa saat sebelum acara dimulai, aku katakan
pada salah seorang kawan bahwa keadaanku
tidak sedang baik-baik saja. Alhamdulillah ia paham. Kubawa perasaan carut
marutku, ku kendalikan, dan aku berusaha larut dalam acara.
Alhamdulillah, berbagi dengan yatim selalu membuatku
bahagia setelahnya. Entah kenapa. Entah memiliki energi apa anak yatim itu. Yang
jelas, mereka adalah anak-anak yang sensitif. Mereka bisa tahu perasaan kita, apa
yang kita rasakan meski kita berusaha menyembunyikannya. Pernah suatu waktu,
aku sedang sedih, Namun aku berusaha untuk membuat mereka tertawa. Tahu apa?
Alih-alih mengeluarkan haha hihi, mereka malah menyunggingkan senyum sedikit. Seperti membaca perasaanku yang sebenarnya. Ah aku terbaca!
Barusan, rasanya aku mendapat suntikkan energi
positif yang begitu besar paska berbagi dengan mereka. Pulang ke rumah, aku
membawa perasaan yang sangat bahagia. Sampai-sampai aku menyapa banyak orang,
perhatian pada banyak orang. Jarang sekali aku (yang cuek ini) bersikap seperti
itu. Ah Masya Allah. Inikah “hasil” dari berbagi dan memuliakan anak yatim? Silakan
rasakan sendiri.
Sekian ceritaku,
Bandung, 22 November 2020
Komentar
Posting Komentar