Kelapangan Rezeki



Nyaris idealismeku terkikis oleh keresahan-keresahan akan hidup dan pencarian materi. Hampir, aku melepaskan prinsipku untuk mengabdi tanpa pamrih dan setulus hati, karena rasa takut akan tak terpenuhinya kebutuhan hidup yang sebetulnya bersumber dari hasrat tak puas akan hal-hal yang bersifat duniawi.
Aku masih menjadi mahasiswi semester akhir (semoga saja) yang sedang menyusun tugas akhir bernama skripsweet, haaa. Namun, karena terdesak oleh kebutuhan hidup dan hutang yang harus segera dibayar, aku hampir meninggalkan kewajibanku untuk mengabdi. Aku bingung mencari pemenuhan materi ini. Sudah dua kali aku ditolak oleh lembaga/instansi pendidikan kala mengajukan lamaran ke sana. Yang satu karena alasan mereka sudah memiliki beberapa guru honorer. Satu lagi, sebelumnya aku sudah mengajukan pengunduran diri dari sekolah tersebut. Tapi, kebutuhan “mendesakku” untuk kembali kesana. Sayang, kepala lembaga tersebut cenderung tidak menerimaku kembali, dengan alasan administrasi. Ini memang salahku, karena aku sudah “plinplan” dengan mengatakan resign, kemudian dengan mudahnya mengatakan kembali lagi. Tapi saat itu pun aku tidak menduga bahwa keadaan membuatku merasa harus kembali ke sana. Meski jarak dari tempat tinggalku ke sekolah tersebut cukup jauh, aku mencoba melakukan perjalanan dengan naik sepeda, untuk menekan biaya angkutan umum.
Kebutuhan materi ini membuatku bingung dan agak takut, nantinya bagaimana? Ke depan akan bagaimana dan jadi seperti apa? Beberapa kali kegagalan membuatku agak takut sekaligus mengajarkan agar tidak “bermain-main” dengan suatu instansi atau lembaga formal. Sebelumnya, dengan ideaslime yang ada, aku berpikir akan mendapatkan pekerjaan dengan mudah tanpa bingung-bingung, ya dengan disertai usaha tentunya. Tetapi, kenyataan ternyata tidak demikian. Buktinya, sudah dua kali aku ditolak, sebenarnya tiga kali aku mendaftar ke sebuah lembaga pendidikan, namun satu sekolah belum mengirimkan kabar yang melegakan hati dan pikiranku ini. ini membuatku bertambah resah.
Aku curhat pada ibuku tentang masalah ini. Beliau mengatakan beberapa alasanku mengapa sekarang ini rasanya sulit sekali mendapatkan rezeki. Salah satunya adalah, aku melupakan kewajibanku untuk mengabdi. Ya, itu. sebetulnya ibuku adalah seorang kepala sekolah yang mengelola yayasan taman kanak-kanak al-Quran berbasiskan non profit. Sehingga gaji guru di sana tidak begitu besar. Aku “lupa” untuk membantu di sana. Padahal, itu bisa menjadi sebuah pengabdian yang mengantarkanku pada pintu-pintu rezeki yang lainnya. Dari sini, aku merasa mendapat sedikit pemecahan masalah, ya, aku akan membantu ibuku terlebih dahulu. Kemudian, bagaimana aku mesti mendapat pemasukan lain untuk memenuhi kebutuhan yang lainnya?
Ada beberapa rencana sebetulnya yang sudah aku susun kembali, salah satunya melamar kembali ke beberapa tempat bimbingan belajar dan berdagang. Sepertinya, berdagang adalah salah satu hal yang memiliki peluang besar untuk mendapatkan penghasilan yang cukup menguntungkan.
Selanjutnya, hal-hal lain yang akan menjadi usaha untuk memperbaiki rezeki ini adalah, memperbaiki hati dan pola perilaku yang menghambat datangnya rezeki itu sendiri. Aku sadar, rezeki tak melulu materi. Tapi, kelapangan hati dan kenyamanan adalah rezeki tiada tara yang justru itulah yang dicari-cari. Semoga Tuhan membantuku untuk memberi kelapangan rezeki juga membuatku dapat membnatu melapangkan rezeki orang-orang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

UNDAK USUK BASA SUNDA

Psikologi Transpersonal, Agama dan Being Transpersonal

A story (Cinta Sejati Air dan Api)