MENGOLAH DOLANAN JADI TONTONAN
MENGOLAH DOLANAN JADI
TONTONAN
Oleh: Jose Rizal Manua
Dunia
anak-anak adalah sebuah dunia yang otentik, unik, bebas dan indah. Melalui semangat
bermain anak-anak mengembara dengan imajinasinya, berpetualang dengan
fantasinya, dan berasosiasi dengan ragam simbol yang dipungut dari manusia,
alam dan lingkungannya. Ekspresi anak-anak yang otentik, unik, bebas dan indah
itu seringkali naif, tak terduga dan penuh kejutan.
Kesadaran
inilah yang melandasi teater Tanah Air dalam menggarap tontonan. Tanpa intervensi
dan atau menggurui teater Tanah Air mencoba memaksimalkan semangat bermain
anak-anak melalui ragam dolanan yang sarat kearifan lokal.
Dolanan
adalah permainan tradisi turun-temurun, warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Tumbuh
dan berkembang di tengah masyarakat yang majemuk di antara ribuan suku di
Nusantara. Sayangnya dolanan yang penuh kearifan lokal ini sudah mulai
ditinggalkan, tergerus oleh peradaban instan yang siap saji. Masyarakat yang
menyebut dirinya modern lebih tergiur pada sesuatu yang datang dari Barat. Yang
datang dari Eropa atau Amerika. Seperti tarian jalanan (Hip Hop), dan
sejenisnya. Sementara ragam dolanan yang tumbuh dan berkembang di tengah
masyarakat tradisi mengajarkan banyak ikhwal tentang kearifan; Tentang sopan
santun, kejujuran, harga-menghargai, hormat-menghormati, kerjasama dan gotong
royong. Melalui ragam dolanan anak-anak ditantang daya juangnya, didorong daya
kreatifnya dan ditumbuh-kembangkan kepercayaan dirinya. Dan tidak kalah
penting, melalui ragam dolanan anak-anak mengolah tubuh dan suaranya, melatih
spontanitas dan memaksimalkan kemampuannya berimprovisasi. Dan masih banyak
lagi manfaat yang bisa diraih dari ragam dolanan yang tersebar di Nusantara;
seperti permaian “gobak sodor”, “Soyang-soyang”, “kakak mia”, “sala Bandung”,
dan lain-lain.
Bahkan
di dunia pendidikan, sebaiknya guru menstimulasi ragam permainan ini untuk
mengajar berbagai ikhwal di kelas. Baik untuk pelajaran matematika, maupun
pelajaran biologi, dan lain-lain.
Dan
mengusung dolanan ke atas pentas serta menjadikannya sebagai sebuah tontonan
(seni pertunjukan), adalah upaya kreatif, artistik, dan estetik yang
memaksimalkan unsur-unsur bentuk, warna, nada, irama, tempo, ruang, komposisi, harmoni,
dinamika, dan nuansa. Kemudian memadukannya dengan unsur-unsur tontonan (spectacle),
seperti tata cahaya, tata busana, tata rias, dan tata pentas (set dekor,
property, hands-prop).
Seni
laku (akting) yang dijelajahi oleh teater Tanah Air adalah ekspresi yang
bersumber dari alam, dengan mengeksplorasi semangat bermain dari anak-anak. Pendekatannya
adalah paduan antara; “Menjadi”, artinya menjadi watak yang dituntut oleh
lakon, sebagaimana yang dianut oleh Konstantin Stanislavski. “Menjadi dan Tidak
Menjadi”, artinya membuat jarak dengan watak yang dituntut oleh lakon,
sebagaimana yang dianut oleh Bertold Brecht. Dan “Biarkan Menjadi”, artinya
aktor mendekati watak secara fisikal dan ekstrem, sebagaimana yang dianut oleh
Jerzy Grotowski.
Dengan
masuk ke dalam alam, anak-anak akan menyentuh wilayah-wilayah tak terduga dari
seni laku. Dengan masuk ke dalam alam, anak-anak akan memaksimalkan kekayaan
(tubuh dan suara) yang tersimpan dan mengendap di dalam dirinya. Semua dieksplorasi
tanpa intervensi dan serangkaian contoh-contoh.
Proses
latihan yang ditawarkan teater Tanah Air
adalah keluar dari rutin kebudayaan kemudian masuk ke dalam alam; melakukan
penjelajahan terhadap ragam daya imajinasi, ragam daya fantasi, ragam daya
asosiasi, ragam daya ekspresi wajah, suara, gerak, daya penghayatan (pikiran,
perasaan, kesadaran), spontanitas dan sentuhan rasa seni. Dengan begitu, setiap
individu akan mampu menangap sesuatu yang dapat membuat sesuatu itu menjadi
otentik, unik, bebas dan indah.
Proses
latihan keluar dari kebudayaan dan masuk ke dalam alam membuat anak-anak lebur
dalam semangat bermain yang penuh kejenakaan dan keceriaan. Sebagaimana persyaratan
dari tontonan yang baik, yaitu harus menyenangkan dan tidak mudah terlupakan.
Karena
tontonan merupakan nilai yang paling nyata dari apa yang didapat anak-anak
dalam menyaksikan suatu pertunjukan. Tontonan yang baik itu ‘mempesonakan’
dengan cara menghadirkan kesempatan bagi anak-anak untuk meng-identifikasi-kan
dirinya dengan tokoh-tokoh yang ada, dalam situasi yang menarik, yang bisa
dipahami, bermanfaat dan mengasyikkan.
Suatu
kesempatan yang melibatkan identifikasi anak-anak dengan sang protagonis, sang
antagonis dan karakter-karakter yang lain dalam lakon tersebut. Dari mana
simpati anak-anak tergugah dengan hal yang masuk akal karena dilibatkan dengan
situasinya.
Lakon
tidak perlu nyata-nyata mengkhotbahi. Anak-anak suka belajar tapi tidak suka
digurui. Jadi yang baik adalah memberi kerangka sedemikian rupa di mana tidak
dikatakan bagaimana seharusnya, tapi biarkanlah segalanya terjadi partisipasi
aktif daripada anak-anak terhadap pola tindak-tanduk yang akan mereka ikuti.
Dalam
pementasan yang baik, prinsip estetik penyutradaraan, desain, dan sebagainya
akan nyata sekali.
Kualitas
pementasan harus dalam kerangka teater anak-anak, kalau kita memang hendak
memperkenalkannya dengan nilai sebenarnya dari teater sebagai kesenian.
Ada
komposisi dasar dari keterpaduan, keseimbangan, keberagaman, akan jelas dalam
suatu plot yang alurnya tidak terputus-putus, karakterisasinya berkembang penuh
tapi tidak kelewat kompleks. Yang terutama dilukiskan dalam kata-kata dan pola
geraknya serta mampu untuk tumbuh secara konsisten dan logis. Dan dialognya
mesti penuh semangat, imajinatif dan segar. Wassalam!
(makalah ini adalah pengantar
diskusi “Teater dan Pendidikan: Mengenal dan Mengoptimalkan Potensi Anak
Lewat Teater”, di UIN Sunan Gunung Djati Bandung).
Disalin oleh: Sayidah Iklima
(Fakultas Psikologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung).
Komentar
Posting Komentar