"Orientasi Hati"


Orientasi Hati
Oleh     : Sayidah Iklima

Membuka mata, saat ku harus menanggalkan pakaian putih abu. Berat, sedikit ringan. Tengok kiri–kanan, orang–orang senang berbincang, aku berkelana dalam pikiranku sendiri. Disisi keramaian yang recok, aku menemukan teman–teman lamaku yang juga melanjutkan ke universitas yang sama. UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Mereka menyambutku seperti saudara yang sudah tak bersua. Kulihat, pakaian mereka sudah berubah. Dengan gaya masa kini. Banyak kisah yang kami bagi, namun satu hal yang membuatku tak nyaman saat bersama mereka. Disitu ada seseorang yang sangat istimewa bagiku, aku tak bisa tenang. Salah tingkah istilahnya. Ya, karena aku tak tahu harus bagaimana bersikap untuk menjadi istimewa didepannya. Itu salah. Padahal, cukup jadi diri sendiri saja dan menerima apa adanya, semua beres. Namun, aku kalah dengan amarah, hingga aku pergi dari mereka dengan alasan lapar.
Pikiranku menyuruh tubuhku untuk bangkit dan bergegas menuju kampus, hari ini orientasi dimulai. Enggan sejujurnya untuk mengikutinya, namun bagaimana pun menghargai lebih utama. Sementara kakiku terus berjuang menuju kampus, pikiran dan hatiku terus berdebat saat melihat orang berlalu lalang, terutama senior. Aku menangkap suatu pelajaran bahwa ‘dunia mahasiswa sangat berbeda’ dengan dunia SMA. Sangat nampak ke’aku’an yang aku temukan. Proses pembentukan jati diri mungkin. Aku tak tahu. Yang jelas satu dengan yang lain memperlihatkan perbedaan dan keunikan masing-masing. Tak seperti kala aku sekolah dulu. Malu jika berbeda dengan yang lain. Ketergantungan kelompok, itu dia.
Baiklah, acara Orientasi dimulai. Aku berada diantara ribuan orang yang sama–sama berseragam hitam putih, dengan pita merah muda yang ku kenakan. Tanda pengenal bagi jurusan Psikologi.  Aku terkesan dengan senior putra yang menjadi MC. Orang yang sangat percaya diri dan berkarakter. Dari situ aku menangkap pelajaran berharga, bahwa untuk menjadi menarik tidak perlu memasang segala pernak–pernik. Percantiklah jiwa (hati) dengan menyukuri apa yang kita miliki, maka akan memancar pula pribadi yang indah.
Saatnya staf senat dan guru besar memasuki aula. Insan–insan pemikir nan bijak terlihat dari wajah bapak–bapak tersebut. Kembali pikiran dan hatiku bercokol, antara baik atau buruk duga. Mungkin yang saat ini sedang bercerita merupakan bagian dari amarah, ataukah muthmainah? Aku tidak tahu, yang jelas aku berharap semoga tidak ada yang tersakiti.
Waktu berlalu bersama dengan makin penatnya kondisiku. Banyak yang protes pada senior karena perut yang sudah menyanyikan lagu heavy metal. Aku tak ikut bicara, sudah terlalu ribut apalagi jika ditambah satu suara lagi. Ditengah kegaduhan, aku melihat wajah anggun nan damai dari seorang senior putri dengan kerudung yang berkibar. Menjaga semua keindahannya. Aku heran mengapa wajahnya dapat memberikan senyum yang sangat bersinar? Suatu saat nanti, aku akan bertanya padanya.
Matahari makin naik, namun hatiku makin tak tenang, seolah mencari–cari sesuatu. Kedamaian. Sulit aku untuk berdamai dengan batinku sendiri. Namun, untung saja hal ini tidak merembet pada orang–orang disekitarku.
 Time to enter psychology room… rupanya banyak juga teman–teman seangkatanku kali ini. Aku melepas pandang, nampaknya umat psikologi mencintai kedamaian. Yak, waktunya untuk materi. Senang aku melihat dosen–dosen fakultas psikologi yang berbicara dengan wajah tenang. Sedikit membuka wawasanku tentang ‘manusia’.
Kegiatan orientasi berlangsung tiga hari. Dan di tiga hari itu pula, aku mendapat kejadian aneh berturut–turut, salah satunya perang batin. Hari berikutnya aku mengikuti orientasi, rasanya aku masuk kedalam diriku sendiri, berusaha untuk mendapatkan sejatinya aku disana. Dan itu menjadikanku banyak diam, bahkan saat orang–orang asyik dengan tawa tergelak melihat aksi lucu salah satu peserta orientasi. Aku hanya tersenyum. Suara dihati berbisik agar aku mesantren saja tanpa kuliah. Belajar ilmu agama dan menghafal al–Qur’an. Bisikan ini bertambah sampai seorang dosen memberikan materi yang berkaitan dengan hakikat manusia dan motivasi. Aneh. Saat semua orang dengan semangat termotivasi oleh dosen tersebut, aku malah sesak dada. Berat rasanya untuk bernafas. Gelisah, aku tahu batinku mengeruh seakan di kejar musuh. Kesombongan, ya itulah yang membuat hatiku sakit. Dosen itu bertanya,
“Siapa yang merasa dirinya pemalu? Angkat tangan”. Ada dua orang yang mengangkat tangan, termasuk aku. Namun, orang lain yang ditunjuk oleh dosen tersebut, padahal aku berada di barisan depan. Aneh kupikir, sepertinya pak dosen tahu aku sedang perang batin. Ia seperti sadar akan aku, namun tak mau melihatku. Dan ini makin membuatku negatif. Rasanya aku ingin menangis, hati yang terasa gelap, hawa nafsu yang kalap. Asataghfirullahaladzim… aku berusaha untuk menentramkan diri. Hebat sekali bapak itu. berhasil mengorek sisi penasaran kami semua. Beliau berkata:
“dosen yang baik adalah yang bisa membuat mahasiswanya bingung”. Semua tertawa, kecuali aku yang sibuk berperang dengan diri sendiri.
“Baik, dibuka termin pertanyaan, untuk dua orang penanya” ujar sang moderator. Tiga orang mengacungkan tangan, termasuk aku. Seseorang bertanya bagaimana cara menstabilkan motivasi yang sering naik turun. Sang dosen menjawab dengan jawaban filosofis disertai gambar ‘pengemis’. Jawaban yang kembali membuat kami ‘bingung’. Akhirnya dosen tersebut mengakhiri materinya tanpa menjawab pertanyaanku, yaitu:
“Pak, bagaimana ciri orang yang tidak sombong?”. Dan sekali lagi, aku merasa diperlakukan tidak adil. Namun aku tak cepat mengambil kesimpulan. Pasti ada sesuatu dibalik perlakuan dosen tersebut. Saat peralihan acara, aku bertekad untuk menemui ‘Sang Dosen’.
“Pak, maaf kenapa Bapak belum menjawab pertanyaan saya?” tanyaku pada sang dosen.
“Maaf, pertanyaan yang mana ya?” dosen tersebut menatapku dalam.
“Tentang bagaimana ciri orang yang tidak sombong, Pak. Soalnya saya sombong” ucapku sambil menahan tangis.
Sesaat sang dosen tersenyum sambil menatapku dalam. Lalu berkata: “kesombongan adalah tidak menyukai kesombongan orang lain”. Tak tertahankan, air mataku jatuh dengan deras. Sang dosen berkata lagi,
“Kesadaran lebih baik daripada perubahan” senyum beliau berkata sambil memegang pundakku. Lalu ia pergi, sementara aku masih mematung. Merasa tak layak menangis di tengah koridor, aku pun berlari menuju kamar mandi. Diantara air yang membasahi wajah air mataku terus mengalir, mengapa aku begitu sombong! Amukku dalam hati. Tak lama kemudian, aku kembali bergabung dengan kumpulan peserta yang lain.
Lelah, kegiatanku hari ini. Alasan utamanya adalah ada aku, ia dan mereka dalam diriku. Orientasi ini telah membuatku banyak menangis. Setiap kata yang kudengar apabila berhubungan dengan jiwa dan hakikatnya, menjadi cambuk bagi hatiku. Teringat siang tadi ketika aku keluar barisan dan menemui senior dengan senyum anggun itu. Lepas aku menangis didepannya. Mengeluhkan persoalan sepele.
“Teh, kenapa Teteh bisa selalu tersenyum?” tanyaku terbata, menahan air mata yang menggedor konjungtiva.
“Semua juga ada prosesnya” jawabnya dengan nada yang sejuk. Tak dapat ku tahan lagi, sambil menangis aku meceritakan permasalahanku pada senior itu. Ia mendengarkan tanpa menyela sambil membawa senyum diwajahnya.
“Dik, masa lalu adalah sesuatu yang sangat tidak bisa dirubah. Masa depan itu tak dapat ditebak. Jika ingin memperbaiki masa lalu, perbaikilah masa depanmu. Namun, kita saat ini tak berada dimasa depan yang indah itu. Yang dapat kita lakukan adalah menata hari ini”. Hebat. Kata yang dapat ku keluarkan untuk sosok ‘besar’ itu. Apa hal yang telah mencerdaskannya? Sebelum mendapat jawaban, aku harus segera pergi karena ‘pasien’ lain mengantri untuk berkonsultasi pada ‘sang dokter’ itu. Kalimat terakhir yang aku ucapkan padanya ialah:
“Teh, makasih ya atas semuanya. Maafin saya Teh, mungkin saya di pesantren aja Teh. Saya mau nyari ketenangan”.  
“Iya, bagaimana pun yang penting mudah–mudahan itu jadi yang terbaik. Sampai ketemu lagi ya”. Ujarnya sambil berlalu pergi. Begitu pun aku.
Dalam perjalanan, galau dan sesak terus berdesak–desak. Antara mengikuti kemauan hati untuk mesantren, atau ta’at pada orang tua meski terpaksa. Aku bimbang.
Sesampai di rumah aku banyak bercerita pada ibuku tentang orientasi hari ini. Suasana haru pada awalnya. Namun tiba–tiba aku marah–marah, mengeluhkan semua kekuranganku. Ibuku berusaha menenagkanku. Aku sendiri aneh, mengapa aku begini? Labil. Sholat menenangkanku sesaat. Aku harus menyampaikan keinginanku untuk mesantren.
“Mih, teteh gak nyaman kuliah teh” ucapku pelan.
“Kenapa gitu? Kan teteh suka Psikologi?”
“Teteh pingin nyari kedamaian, Mih. Kayaknya kalau mesantren dan menghapal Qur’an teteh bisa tentram” nyaris saja aku menangis, masih ku tahan. Ibuku terdiam sesaat, lalu berkata,
“Kenapa atuh nggak dari awal bilangnya? Sekarang mah gimana, uang kan sudah masuk. Lanjutkan aja sekarang mah kasian Bapak. Menghapal Qur’an kan bisa di rumah”. Ibuku memberi jalan keluar, namun aku tetap bersikukuh.
Nggak nyaman mih, Teteh ngebayangin kalo mesantren aja nyaman, Teteh nggak mau kalo belajar dipaksain”. Nada bicaraku naik. Ibuku terlihat kecewa. Aku makin tak kontrol diri.
“Teteh pingin tenang Mih, pingin mengembara belajar kehidupan, dan itu nggak di UIN”. Tangisku pun bebaskan dirinya. Ibuku diam tak tahu harus berbuat apa. Aku makin menangis sejadi–jadinya.
“Udah atuh jangan nangis”, Ibu berusaha menangkan.
“Tetehnya pingin nangis, biarin atuh”. Aku makin menangis. Ayahku yang semula tak ikut campur, angkat bicara. Namun aku malah berlari sambil berkata kasar,
“Teteh lagi nggak tenang hati, dinasihatin juga nggak masuk”. Aku pergi menuju rumah nenek yang tak jauh dari rumahku.
            Terkejut, saat nenek sudah menyiapkan air do’a untuk mandi.
“Istighfar, Teteh teh dimasukin jurig! Kasihan ke Mimih, ke Bapak”. Tatapan nenek yang prihatin malah membuatku ingin tertawa,. Pikir nenek, aku kesurupan. Tanpa berkata apa–apa, aku menuju kamar mandi.
Air yang mengguyur kepala, perlahan menyadarkanku. Betapa aku telah lupa diri. Tadi aku nyaris putus asa, putus harapan, merasa aku serba memiliki segala kekurangan. Dan aku lupa bahwa Tuhan Maha memberi ampunan. Aku mencari–cari kedamaian yang kurasa ada di pesantren. Namun, aku salah, kedamaian dapat aku temukan dimana saja sekalipun ditengah keramaian para preman, asalkan koneksiku tak pernah terputus dengan Tuhan. Orientasi yang tak akan pernah aku lupakan, orientasi diri, orientasi hati.
Terimakasih UIN, terimakasih OPAK, terimakasih senior, terimakasih teman, terimakasih Mimih, Bapak, Nenek..
TERIMAKASIH ALLAH…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

UNDAK USUK BASA SUNDA

Psikologi Transpersonal, Agama dan Being Transpersonal

A story (Cinta Sejati Air dan Api)