Aku Pernah "Buruk Rupa"

Assalamualaikum!

Halo Gais. Ketemu lagi nih sama tulisanku. Semoga sema sehat selalu ya.

Tahu enggak, sebelum lumayan kinclong dan banyak yang deketin, aku pernah jadi orang yang sangat “buruk rupa”. Ya enggak kayak Hulk juga. Tapi ini bener-bener kucel, jerawatan, bener-bener kelihatan enggak terawat banget lah. Udah kayak apaaa aja wajahku, over all diriku seluruhnya. Sampe-sampe seorang temen cowok-ku semasa kuliah bilang gini pas aku minta dia buat kasih kata-kata paling nyelekit yang dia punya buat aku. Tahu apa yang dia bilang? “Kamu enggak cantik.” Saat itu sih … aku masih enggak “ngeh” kalau kata-kata itu udah menghujam cukup dalam di dada. Eaaa. Hehe. ternyata, sampai sekarang aku masih inget kata-kata itu, termasuk cara dia mengekspresikannya. Actually nyelekit juga.

Jadi aku akui, dulu tepatnya sejak masuk SMA entah kenapa wajahku rasanya jadi berubah drastis dari masa SMP. Pas SMP lumayan lah ada manis-manisnya gitu. Ini pas Aliyah/SMA Jadi enggak berbentuk, kalau boleh dibilang. Udah selayaknya tempe bacem, maybe. Udah mah gaya selengekan kayak preman pasar. Entah dapat dari mana tu gaya itu (jadi biar kelihatan "keren", pas SMP aku niru kakak kelas yang keren dan tomboy abis ceritanya. Sayang “peniruan” ini tidak berlaku lagi di dunia ‘Putih Abu’). Oke, jadi saking ini bentuk udah ampir enggak ada cewek-ceweknya, wajah enggak ada girly-girly nya -singkat cerita, waktu kelasku bikin pohon-pohonan yang daun2annya itu isinya semua foto anggota kelas (kebetulan sekelas isinya cewek semua)- enggak ada seorang pun yang ambil fotoku. Sementara foto cewek-cewek yang lain sebagian besar dicolongin cowok-cowok kelas sebelah dan kelas atas. Fotoku, salah satu foto yang “dianggurin”, tidak tersentuh sedikit pun. Ada sih beberapa orang anak lagi. But men, itu membuktikan betapa tidak menariknya diriku saat itu. Ya iyalah. Di foto, udah mah bentuk kagak ada potongan feminimnya, jilbab aja nempel. Gaya juga tomboy abis. Sok-sok an ‘fakyu’ gitu. Haha. Ada-ada aja. Dan kelakukan serta potongan “tomboy” itu berlaku sampai beberapa semester. Lumayan lah. Dicap “preman pasar”.

Lambat laun, aku berubah jadi lebih “girly”. Lebih memperhatikan penampilan, sedikit merawat wajah, (cuman pakai bedak bayi doang wkwk. Sebelumnya enggak bedakan sama sekali. Hiks. Pantes yah) terlebih setelah ada cowok yang aku taksir. Aiiih. Yup. Perlahan aku “berubah” (Jadi X-Men ciaaaat!!!!).

Perubahanku mungkin membuahkan “hasil”. Beberapa orang mulai komen aku “beda”. Ada yang sedikit ngelirik dan yaaa gitu-gitu deh. Tapi aku malah jadi malu banget buat berkomentar apapun, atau merespon mereka yang udah “merhatiin” perubahan aku. Enggak tahu. Mungkin karena dasarnya aku memang pemalu. Jadi yaaa gitu deh. Cuman diem diem bae. Hehe.

Sampai kelas 3, aku berubah ternyata masih belum ada satu pun cowok yang “nyangkol” jadi pacarku. Belakangan, khususnya setelah masuk psikologi dan “berobat jalan” di sana, hehe. Aku baru tahu kalau aku (alam bawah sadarku) nyimpan mental block cukup gede ke cowok, yang bikin aku cukup sulit menjalin relationship dengan cowok. Sulit aja gitu. Takuuuuuut banget. Tapi untung di kelas 3, ada juga cowok yang “berani” deketin dan nembak aku. Hehe. Tapi sayang, enggak jadi pacaran ma dia. Eh Alhamdulillah ya malah harusnya kalau enggak jadi?

Akhir kelas 3 SMA atau setingkat itu lah. Karena aku sekolah di MAN dulu. Aku ngalamin kejadian yang bikin aku sangat trauma. Mungkin belum saatnya aku ceritain sekarang, tapi itu cukup bikin aku terpukul dan akhirnya sulit menerima diri sendiri. Sebetulnya dari sebelum adanya kejadian tersebut, aku udah punya beberapa trauma yang enggak aku sadarin. Cuman di akhir kelas 3/XII itulah puncaknya. Dari sana aku makin abai sama diri, sampai bentuk fisikku udah kayak apaaaaa mah. Jerawat di mana-mana. Istilah lebaynya seperti itu. Awal-awal kuliah, aku habiskan dengan perjuangan ngilangin jerawat, yang baru bener-bener bisa ilang sekitar 3-4 tahun kemudian. Setelah aku perlahan mulai ngerti ilmu tentang penerimaan diri. Mulai bisa menerima diriku. Sebelumnya, sumpah jelek abis. Suka sedih sendiri kalau liat kaca. Hehe. lebay kali yah. Ya gitu lah.

Gais, dari psikologi, aku belajar banget. Bahwa keadaan fisik itu bergantung banget sama psikologis atau jiwa kita. Bahkan, seorang emotional healer terkenal, Irma Rahayu namanya. Dia nge-list penyakit-penyakit fisik yang diakibatkan kondisi mental atau psikologis, dan salah satunya menyebutkan bahwa jerawat adalah penyakit yang bersumber dari kurang menerima diri sendiri. Sebab, semakin kita nyaman dengan diri kita, semakin kita akan bisa menerima diri dan menyayangi diri seutuhnya. Akan tumbuh perasaan atau keinginan untuk menjaga dan merawat diri sebaik mungkin, karena kita tahu diri kita berharga. Itulah yang saat itu sempat “hilang" dariku. Rasa keberhargaan diri. Jujur, aku pernah ada di posisi down dan drop banget sampai aku sulit menerima diriku sendiri. Abai sama diri, dan penuh ketakutan. Boro-boro merawat diri, yang ada aku mindeeeer dan enggak PD-an banget kalau ada di tengah orang-orang. Ngerasa enggak berharga pokoknya. Sedalam dan separah itu. Pantes sangat kurang menarik sampe dikatain “enggak cantik”. :’)

Kemudian sesuatu terjadi. Perlahan aku tersadarkan bahwa aku harus berubah. Lebih baik. Enggak kemana-mana, satu langkah yang aku lakukan adalah, masuk ke dalam diriku. Satu per satu aku berdamai dan berusaha menyembuhkan luka dan trauma-traumaku. Cukup sulit, namun perlahan aku mulai belajar untuk menerima dan berdamai dengan kondisi yang ada. Lantas entah kenapa, aku merasa mulai bisa menyayangi diriku dengan lebih tulus. Aku merasa menemukan diriku! Alhamdulillah … aku mulai senang merawat diri, perlahan PD-ku muncul, dan entah kenapa perlahan jadi banyak cowok yang deketin aku. Emang enggak mudah pada awalnya, terutama part  berdamai dengan keadaan. Ada banyak situasi dan kondisi yang bikin aku betul-betul tertekan. Rasanya ingin terus-terusan protes. Namun perlahan tapi pasti, aku yakinkah diriku untuk betul-betul berubah dan masuk ke dalam untuk menemukan penerimaan diri yang seutuhnya. Self Love.

Gais, Bener. Self love itu penting. Tapi bukan selfish, ya! Jauh bedanya. Dengan kita mencintai atau menyayangi diri kita, kita berarti menerima seutuhnya keadaan diri kita apa adanya dan enggak membandingkannya dengan siapapun atau apapun. Ya, meski mungkin terkadang membandingkan itu perlu guna meningkatkan kualitas diri. Tapi, dengan menerima diri, kita akan lebih respek sama diri kita. Dari sanalah self love muncul. Dan percaya deh, setelah “praktekkin" itu semua, kamu bakal ngerasa bersyukur udah diciptakan Tuhan sebagai dirimu. So, find the treasure inside yourself!

Oke, kayaknya cukup sekian ceritaku kali ini. Semoga bermanfaat, untukku dan untukmu, terutama kamu-kamu di luar sana yang mengalami kisah yang sama denganku. Thanks ya, udah baca kisah-kisahku. Selamat berubah lebih baik. Selamat bermetamorfosa. Gudlak!

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

UNDAK USUK BASA SUNDA

Psikologi Transpersonal, Agama dan Being Transpersonal

A story (Cinta Sejati Air dan Api)