TADARUS

 (Sebuah Cerpen)

      “Tok, tok, tok,” Tuhan mengetuk pintu.
      “Tok, tok, tok,” Tuhan mengetuk pintu kembali.
      “Tok, tok, tok,” kesekian kalinya Ia mengetuk, namun aku tak lekas tersadar. Malah asyik dengan kesenanganku.
       “Haruskah aku dobrak?” Tanya Tuhan.
       Aku menoleh, dengan senyuman yang bodoh kembali pada keasyikkanku. Tanpa sadar, pintu Ia dobrak. Aku terkejut. Betapa rumahku sudah sedemikian berantakkannya. Barang-barang berserakan di mana-mana bersama tumpukan sampah yang tumpah ruah.
     Aku melihat ke sekitar, sungguh tak percaya saat dengan apa yang terjadi. Betapa keadaan ini sudah begitu kacau.
      “Masihkah Kau akan diam?” Tanya sebuah suara. Entah kenapa aku yakin itu suara yang sama dengan yang mengetuk pintu. Tuhan.
       Aku menatap nanar ke seluruh ruangan. Tercengang. Seraya terus mendengar sayup suara Tuhan, aku berusaha melangkah. Tanganku berupaya menggapai sesuatu, namun berat. Kakiku pun kaku.
       “Masihkah kau akan tetap diam?” Tanya Tuhan lagi.
       Ingin aku mengatakan sesuatu, tapi lidahku kelu. Mulutku terbata. Dari sudut hati yang terdalam aku bertanya,
       “Ada apa ini, Tuhan?”
       “Lihatlah kekacauan ini! Masihkah kau akan diam?” SuaraNya menggelegar. Lututku bergetar. Gigiku bergemelatuk, namun aku tak bisa mengatakan apapun.
       “Sudah berapa lama kau biarkan semua kekacauan ini?” TanyaNya berseru.
Tanganku menggapai sesuatu yang kosong di udara. Aku memaksa diri untuk menyeret kakiku yang berat. Mataku remang akan pandang.
       “Tuhan ...” Aku merintih dalam hati. Sesuatu mengalir dari sela-sela kornea. Aku pun terjatuh.
       “Tuhan ...” Rintihku lagi. Aku meratap tanpa ucap.
       “Bersihkan!” SeruNya.
       “Bagaimana caraku?” Tanyaku. Masih dalam hati.
       “Bersihkan!” SeruNya lagi.
       “Bagaimana caraku?” Tanyaku lagi. Dalam keadaan berlutut, aku berusaha menggerakkan kakiku yang masih kaku.
       “Tuhan, bagaimana caraku membersihkan semua ini?” Hatiku terus meronta.
       “Hanya dengan namaKu ….” Suara Tuhan terdengar lembut, namun seketika mampu menghangatkan seluruh ruangan ini. Kehangatan yang perlahan masuk ke pori-pori kulitku, lantas masuk ke hatiku. Memenuhinya. Lidahku yang kelu perlahan mencair, lantas mengucap kata-kata yang terdorong dari rongga-rongga di dalam sana. Hatiku.
       “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih, lagi Penyayang ….”
       Dengan kedua lututku, aku bergerak perlahan menuju benda-benda yang berserakan. Aku ambil satu per satu benda-benda itu lantas meletakkan mereka kembali ke masing-masing tempatnya. Pun sampah-sampah itu, satu per satu aku pungut dan membuangnya ke tempat di mana seharusnya ia berada.
       “Dari tadi Tuhan mengetuk pintu rumahmu. Mengapa tak lekas kau membukanya?”  
       Aku tercengang, ternyata sampah-sampah itu mampu bicara. Aku hanya bisa menjawab dengan tatapan yang penuh sesal.
       “Haruskah Ia dobrak pintumu baru kau tersadar?” Tanya mereka lagi rada mencecar.
Mulutku dibungkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang menampar setiap sudut kesadaranku. Sembari merintih, aku menyesali ketidaksadaraku. Kemudian aku berlutut, dan memohon kesempatan agar Ia kembali mengetuk pintuku. 



Foto: https://airport.id/memburu-cahaya-surga-luweng-grubug-dibawah-perut-bumi/
______

Terima kasih sudah membaca. 😊🙏



Bandung, direvisi tanggal 12 Maret 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

UNDAK USUK BASA SUNDA

Psikologi Transpersonal, Agama dan Being Transpersonal

A story (Cinta Sejati Air dan Api)