Surat Untuk Tuhan
Bandung, 20 November 2016
Kepada,
Tuhan Yang
Mahabaik
.
Tuhan, apa kabar? Kapan terakhir aku mengirim surat
padaMu? Sepertinya sudah lama sekali. Kali ini, aku merindu untuk kembali
mengirimMu surat, sekaligus aku ingin menumpahkan segala tanya dan keresahan
yang belum kunjung reda.
Tuhan, aku yakin Kau tak seperti ibu tiri yang
mengirimku ke dunia ini hanya untuk merasa dan melihat derita dan duka. Namun di
sini aku banyak menangis, tentang hidup, tentang segala kepedihan, tentang
orang-orang, dan tentang diriku sendiri. Dulu di alam sana, aku pikir dunia ini
adalah tempat yang penuh dengan kebahagiaan. Ternyata, tak henti aku melihat
peluh dan air mata yang senantiasa bercampur menghadapi kehidupan.
Kadang, aku tak mengerti “jalan pikiranMu”, Tuhan. Apa
tujuanMu terhadap kami -para manusia- di balik setiap persoalan hidup yang
Engkau berikan yang seakan tak pernah habis. Begitu selesai masalah, muncul
masalah baru. Apa maksud semua ini, Tuhan? Mengapa Kau beri kami uji, bukankah
Kau menginginkan kami saling berkasih sayang dengan rasa yang bahagia?
Nyatanya, dengan segala masalah yang ada, banyak manusia yang justru
mementingkan diri sendiri, seolah lepas dari cinta yang merupakan anugerahMu di
alam semesta.
Tuhan, aku yakin Kau tak seperti ibu tiri, yang
diceritakan orang-orang tentang kekejamanMu. Aku mendengar dari mereka yang
entah mengapa banyak berkisah tentang murka atau hukumanMu bagi para pendosa
seolah Kau adalah diktator yang kejam dan gemar menyiksa. Tapi aku yakin, Kau
tak seperti apa kata mereka, karena Kau bernama Rahman dan Rahim.
Tuhan, aku yakin Kau tak seperti ibu tiri. Selalu aku
baca kalamMu dalam al-Kitab. Aku resapi dan renungi setiap kata yang Kau
sampaikan hingga meresap ke hatiku. Betapa terasa, tak pernah Kau inginkan
manusia terluka. Tak pernah Kau kehendaki kami sakit, kecewa, dan terlantar,
layaknya anak-anak di pinggir jalan yang menjadi korban kerasnya kehidupan. SuratMu
Tuhan, selalu mengingatkan tentang bagaimana cara kami menghadapi hidup ini.
bagaimana agar kami mampu berdiri dengan kaki kami sendiri, serta bagaimana
agar kami tidak melakukan seuatu yang menyakiti diri kami sendiri. Itu semua,
bukan untukMu, namun untuk kami, manusiaMu. Dengan lembut Kau mengingatkan agar
kami senantiasa berintrospeksi dan mengingat bahwa Kau memang Mahabaik, tidak
seperti ibu tiri.
Tuhan, aku yakin Kau tak seperti ibu tiri, Yang tak
mau peduli pada anak-anaknya. Namun, mengapa banyak yang terseok meniti jalan
kehidupan, mengapa banyak perut yang lapar di sudut dusun yang terlantar, banyak
punggung yang bungkuk dalam meniti kehidupan sekedar untuk dapat mengeja
bahagia, banyak kaki yang tak dapat lagi melangkah karena terjepit di antara
bongkahan batu besar kehidupan. Sebagian mata berupaya mencari cahaya. Bahkan
meski rabun diantara gelap dan ketidakpastian hidup. Kadang aku bertanya, Tuhan
kemana? Aku yakin Kau tak seperti ibu tiri, yang membiarkan anak-anaknya lapar
dan terlantar.
Tuhan, aku yakin Kau tak seperti ibu tiri, yang dengan
mudah memberi perintah untuk memenuhi kepentingannya sendiri. Kau minta kami
beribadah, bukan karena Kau ingin disembah. Melainkan agar kami tak berkeluh
kesah kala tertimpa berbagai masalah. kau suruh kami tunduk, bukan agar kami
akui kebesaranMu, melainkan agar kami tak jadi manusia-manusia kalap, yang
gemar bersiasat namun justru makin tersesat. Semua perintah, larangan, anjuran,
dan aturan, Kau buat untuk kebaikan kami, bukan untuk menyiksa kami. Karena
Kau, tak seperti ibu tiri.
Tuhan, aku yakin Kau tak seperti ibu tiri, yang pelit
kala diminta, yang galak kala ditanya. Aku tidak mau percaya kata mereka yang
selalu menebar dusta. TentangMu, atau tentang dunia. Aku tidak mau percaya pada
mereka yang membagi-bagiMu seolah Kau bukan satu-satunya. Padahal Kau, adalah
dzat yang Mahatunggal dan memiliki banyak nama.
Tuhan, aku yakin Kau tak seperti ibu tiri. Karena itu,
aku bebas kan, meminta apa saja? Kalau begitu, permintaan pertamaku, aku ingin
jawaban tentang segala keresahanku akan kehidupan, juga arti dibalik segala
kejadian yang menimpaku ataupun mereka.
Sekian surat dariku, Tuhan. Semoga Kau senang dan tak
pernah bosan menerima surat-suratku selanjutnya, yang mungkin… masih berisi
keluhan. Satu lagi, semoga Kau tak marah atas kata-kataku yang kurang santun
atau terkesan merajuk dan manja. Itu karena aku yakin, Kau Mahabaik dan tidak
seperti ibu tiri.
Wahai Tuhan yang Mahabaik, terima kasih telah membaca
suratku.
Komentar
Posting Komentar