Mekanisme Kecemasan dalam Islam dan Psikologi
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Penyakit
hati merupakan sejenis penyakit yang dapat merusak hati sehingga pada akhirnya
sang hati tidak kuasa mencerna kebenaran. Hati yang sakit tidak akan kuasa
melihat yang hak sebagai kebenaran dan tidak akan kuasa melihat yang batil
sebagai kemungkaran. Hati yang sakit paling tidak akan menjadi berkurang
kemampuannya untuk menilai baik dan buruk, sehingga pada akhirnya hati yang
sakit akan membenci kebenaran dan akan menyukai kebatilan. Oleh sebab itu,
penyakit yang menghinggapinya terkadang disebut penyakit bimbang dan penyakit
ragu.
Banyak
hal yang dapat menyebabkan penyakit hati apalagi di zaman yang penuh dengan
stressor seperti sekarang ini, orang-orang dengan mudahnya mengalami stress,
takut serta cemas yang amat karena kurangnya berserah diri terhadap Allah Swt.
Seringkali manusia merasa gelisah akan suatu hal-hal yang belum namak dan belum
terjadi. Bahkan yang lebih parah adalah sampai mengganggu aktivitas kehidupan
yang normal. Hal yang demikian sudah merupakan suatu penyakit cemas yang
mengganggu penderitanya sehingga bisa terjadi depresi. Bisa jadi kecemasan dan
depresi muncul secara bersamaan. Islam memandang kecemasan sebagai salah satu
penyakit dari hati karena jauhnya hati manusia dari bersandar kepada Allah Swt,
sehingga muncul berbagai rasa cemas, was-was dan berbagai ketidak tenangan
jiwa.
Kecemasan
merupakan suatu hal yang alami ada pada diri manusia, yang berfungsi sebagai
rambu jika dalam taraf yang normal. Tentu saja psikologi sebagai ilmu yang mengkaji
aspek psikis manusia menjelaskan pula mengenai kecemasan ini. Bukan hanya
kecemasan dalam taraf yang wajar, tetapi juga menjelaskan bagaimana kecemasan
menjadi parah hingga tingkat yang akut dan menjadikan seseorang tak dapat
berfungsi normal.
Jauh
sebelum psikologi hadir, Al-Quran sudah secara gamblang menjelaskan bagaimana
kecemasan dapat terjadi dalam diri manusia hingga ke gangguan kecemasan yang
akut. Namun bagaimana kaitan antara konsep kecemasan yang dijelaskan Al-Quran
dengan konsep kecemasan dakam psikologi? Untuk menjawab hal ini, penulis
membuat makalah mengenai bagaimana mekanisme kecemasan yang dijelaskan Islam
dan kaitannya dengan ilmu psikologi.
B.
Rumusan
Masalah
- Bagaimana Islam memandang penyebab kecemasan?
- Bagaimana kaitan kecemasan dalam Islam dengan ilmu psikologi?
- Bagaimana pandangan psikologi mengenai was-was dan ragu-ragu?
C.
Tujuan
- Mengetahui bagaimana Islam memandang penyebab kecemasan dikaitkan dengan ilmu psikologi
- Mengetahui kaitan kecemasan dalam Islam dengan ilmu psikologi dan bagaimana Quran membahas hal tersebut
- Mengetahui tentang pandangan psikologi mengenai was-was dan ragu-ragu yang telah dijelaskan dalam Islam sebagai salah satu gejala penyakit hati
BAB 2
LANDASAN TEORETIK
A.
Definisi
Kecemasan
Kesulitan dalam
menggambarkan kecemasan telah menimbulkan banyak definisi. Karena orang akan
menjadi bingung oleh banyaknya definisi yang dikemukakan, maka di sini hanya
akan diutarakan tiga definisi mengenai kecemasan, yakni: 1. Suatu perasaan yang
berlebihan terhadap ketakutan, kekhawatiran, dan bencana yang akan datang
(Goldenson, 1970: 90 dalam Yustinus (2010); 2. Kesadaran akan tegangan yang
tidak menyenangkan (Menninger, 1963: 129 dalam Yustinus (2010); 3. Kekhawatiran
yang disebabkan oleh suatu ancaman terhadap nilai yang dianggap individu sangat
penting bagi eksistensinya sebagai suatu diri (May, 1967: 72 dalam Yustinus
(2010).
Levit
(1967) dalam Yustinus (2010) berpendapat bahwa untuk semua tujuan eksperimental
dan praktis, kecemasan dan ketakutan begitu mirip sehingga yang satu tidak
dapat dipisahkan dari yang lainnya. Tetapi dia mengemukakan beberapa perbedaan
dan gambaran mengenai kedua kondisi tersebut, yakni: (1) Kecemasan – berbeda
dengan ketakutan – terjadi bila tidak ada objek khusus yang ditakuti itu
diidentifikasi. Orang-orang yang cemas akan takut bahwa sesuatu yang mengerikan
akan terjadi, tetapi mereka sendiri tidak mengetahui apa yang ditakuti itu. (2)
Ketakutan adalah suatu reaksi yang sebanding dnegan bahaya yang objektif
dipersepsikan. Sebaliknya, kecemasan adalah suatu reaksi yang tidak sebanding
dengan situasi actual serta bersifat subjektif dan imajinatif (3) Kecemasan
mungkin lebih merupakan malapetakan karena cara-cara untuk melarikan diri atau
untuk menangani masalah itu tidak ada (4) Reaksi-reaksi fisiologis tubuh sama
dengan tidak memperhatikan apakah orang itu mengalami ketakutan atau kecemasan
(5) Ketakutan bersifat sementara dan dapat ditangani dengan mudah, sedangkan
kecemasan kurang akut tetapi akan tetap bertahan dalam jang ka waktu yang lama.
Jelas,
tegangan yang disebabkan oleh kecemasan sangat tidak menyenangkan sehingga
orang akan melakukan sesuatu untuk menghindarinya. Bila dia takut, dia akan
mereduksikan tegangan dengan cara menarik diri dari, menyerang, bergabung
dengan, atau menyerah kepada hal yang menakutkan itu. akan tetapi dengan
kecemasan, hal yang membahayakan itu selalu diantisipasi. Kecemasan adalah
difus (diffuse) dan bersifat umum,
bukan merupakan reaksi terhadap suatu hal khusus. Karena itu jauh lebih sulit
menangani tegangan yang disebabkan oleh kecemasan dengan mengambil tindakan.
Nasihat, “jangan cemas” jarang mengurangi kecemasan. May (1967) dalam Yustinus
(2010) mengemukakan bahwa kecemasan itu timbul sebanding dengan keyakinan
individu-individu terhadap ketidakmampuan mereka sendiri. Seligman (1975) dalam
Yustinus (2010) berpendapat bahwa perasaan tentang hal-hal yang tidak dapat
dikontrol merupakan penyebab kecemasan.
Apabila
orang tidak dapat mempersepsikan apa yang menjadi tindakan konstruktif, maka
mekanisme-mekanisme pertahanan digunakan sebagai sarana pengganti yang tidak
adekuat. Mekanisme-mekanisme ini tidak beroperasi untuk menghilangkan
kondisi-kondisi yang menimbulkan tegangan. Dengan kata lain,
mekanisme-mekanisme tidak menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan
tegangan, melainkan berusaha menghindari penelitian secara sadar
kondisi-kondisi tersebut dan dengan demikian ikut mempertahankan kecemasan.
B.
Kecemasan
dalam Al-Quran dan As-Sunnah
Kecemasan adalah
salah satu penyakit yang banyak tersebar diantara manusia. Dalam bahasa Arab
dikatakan bahwa bila sesuatu cemas, maka ia akan bergerak dari tempatnya.
Hingga bisa dikatakan bahwa bentuk kecemasan adalah adanya perubahan atau
goncangan yang berseberangan dengan ketenangan yang Allah gambarkan dalam
firman-Nya dalam surah al-Fajr ayat 27-30, “Hai
jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam surge-Ku.”
Kecemasan
lahir dari adanya ketakutan akan masa depan atau akan terjadi sesuatu yang
tidak diharapkan ataupun adanya pertentangan dalam diri. Bisa dibilang
kecemasan lebih parah dari ketakutan biasa. Ketakutan umumnya akan hilang
dengan hilangnya penyebab yang memunculkannya. Namun, kecemasan yang sudah
muncul seolah akan tetap menjadi lingkaran setan dalam dirinya. Apabila salah
satu penyebab kemudian hilang, maka akan timbul sebab lainnya yang datang dari
bisikan setan.
Kecemasan
bisa jadi datang dengan tiba-tiba dan hanya sementara sebagaimana yang dikenal
pada saat ini dalam kehidupan manusia. Dan, terkadang pula menimpa manusia
beberapa waktu, beberapa hari. Terkadang dalam jangka waktu yang lama,
terkadang sebentar tergantung keadaan yang ada.
- Penyebab Kecemasan
Sesungguhnya
manusia tidak dilahirkan dengan penuh ketakutan ataupun kecemasan. Sesungguhnya
ketakutan dan kecemasan itu hadir karena adanya emosi yang berlebih. Selain
itu, keduanya pun mampu hadir karena lingkungan yang menyertainya, baik
lingkungan keluarga, sekolah maupun pekerjaan. Dengan demikian, bisa
disimpulkan bahwa penyebab hadirnya kecemasan antara lain sebagai berikut.
a) Rumah
yang penuh pertengkaran ataupun salah pengertian atau penuh dengan
kesalahpahaman serta adanya ketidakpedulian orang tua terhadap anak-anaknya.
b) Lingkungan
yang memfokuskan pada persaingan memperebutkan materi ataupun pertengkaran demi
mempertahankan hidup dan juga yang menumbuhkan ambisi manusia hingga mampu
mengalahkan akhlak dan hati nuraninya.
c) Menurut
Adil Fathi (2004) salah satu penyebab kecemasan yang dialami oleh kebanyakan
orang adalah rasa jengkel pada diri mereka dengan tingkah laku dan perbuatan
orang lain atau mereka merasa diabaikan oleh orang lain, sehingga ia merasa
rendah diri. Berawal dari hal itulah, ia mulai merasa rendah diri dan tidak
dihormati oleh orang lain. Akibatnya, ia sering merasa sedih karena ia telah
berbuat baik kepada mereka, namun mereka tidak membalasnya dengan kebaikan
bahkan mereka membalasnya dengan penolakan.
Dalam Islam, kekecewaan karena
pengabaian tidak akan terjadi karena dasar atau niat dari melakukan setiap
kebaikan adalah karena Allah Swt. Jadi apakah akan mendapat balasan atas
kebaikan atau tidak, seseorang tak akan mengkhawatirkannya karena keyakinan
bahwa setiap balasan sudah diatur oleh Maha Pemberi Balasan.
Agama Islam yang suci telah
mengajarkan kita kaidah yang luhur berkaitan dengan hal ini. Kaidah ini
terungkap dalam sabda Rasulullah saw., “Yang
dimaksud dengan waasil (penyambung silaturrahmi), bukanlah mukaafi (orang yang
membalas dengan balasan setara), akan tetapi yang dimaksud dengan waasil
(penyambung silaturrahmi) adalah orang yang apabila ia telah diputus hubungan
silaturahminya ia berusaha menyambungnya lagi.” (HR Bukhari dan yang lainnya)
Demi
Allah, itu adalah kaidah yang sangat berharga agar terbebas dari rasa cemas
yang timbul karena tidak adanya keseimbangan dalam suatu hubungan.
- Deskripsi Kecemasan
Kecemasan
adalah kondisi kejiwaan yang penuh dengan kekhawatiran dan ketakutan akan apa
yang mungkin terjadi, baik berkaitan dengan permasalahan yang terbatas maupun
hal-hal yang aneh. Emosi seperti sedih dan sakit umumnya akan hilang dengan
hilangnya penyebab kemunculannya, namun tidak dengan kecemasan. Kecemasan
umumnya bersifat akut dan inilah permasalahan yang sedang banyak dihadapi pada
masa ini.
Deskripsi
umum akan kecemasan yaitu “perasaan tertekan dan tidak tenang serta berpikiran
kacau dengan disertai banyak penyesalan”. Hal ini sangat berpengaruh pada tubuh
dirasa menggigil, menimbulkan banyak keringat, jantung berdegup cepat, lambung
terasa mual, tubuh terasa lemas, kemampuan berproduktivitas berkurang hingga
banyak manusia yang melarikan diri kea lam imajinasi sebagai bentuk terapi
sementara.
Kecemasan
ini pada awalnya hanyalah bisikan akan kekhawatiran. Apabila kecemasan ini
makin lama makin menguat, maka akan menimbulkan banyak penyakit kejiwaan dan
juga penyakit tubuh, seperti halnya iritasi lambung, turunnya tekanan darah,
kencing manis, alergi kulit dan penyakit asma.
C.
Teori
atau Mekanisme Terjadinya Gangguan Jiwa
Al-Imran: 153
“(Ingatlah) ketika kamu lari dan tidak menoleh
kepada seseorangpun, sedang Rasul yang berada di antara
kawan-kawanmu yang lain memanggil kamu, karena itu Allah menimpakan atas kamu
kesedihan atas kesedihan supaya kamu jangan bersedih hati terhadap
apa yang luput dari pada kamu dan terhadap apa yang menimpa kamu. Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Jelas
sekali pada ayat ini apabila seseorang merasa ada yang luput atau tidak
diperoleh karena nasib yang menimpanya tidak sesuai dengan kehendaknya akan
menimbulkan kesedihan biasanya mengalami munculnya gangguan jiwa.
Dari
pengamatan peneliti selama 20 tahun pada puluhan ribu penderita gangguan jiwa
berat (psikosa) dan gangguan jiwa ringan, ditambah puluhan ribu anggota
keluarganya yang normal (sehat) jiwanya, ternyata ada sesuatu yang kiranya
cukup kuat untuk dikemukakan begitulah tutur Dr. H. Ibin Kutibin; 2007. Jiwa
manusia terdiri dari jiwa sadar yaitu jiwa manusia yang
menguasai atau mendominasi kehidupan psikis seseorang dalam keadaan normal atau
sehat jiwanya, manifestasinya dirasakan nyaman, tidak dirasakan menganggu
kehidupan sehari-hari, bisa dikendalikan, bermanfaat, adapted, komunikatif,
efektif, efisien dan produktif. Pada setiap kali jiwa menerima stressor (dari
eksternal atau riil dan internal atau angan-angan), maka mekanisme pertahanan mental akan bereaksi menangkal stressor
tersebut, reaksi ‘mekanisme pertahanan
mental’ diperkirakan reaksinya sejalan dengan peningkatan kerja neurotransmitter, biasanya berlangsung sampai
keseimbangan psikis tercapai kembali. apabila stressornya cukup kuat atau
berlangsung lama sehingga membuat jiwa harus siaga dalam waktu yang lama,
jumlah dan kinerja neurotransmitter akan tetap tinggi dalam jangka waktu lama
untuk menghadapi stressor atau kemungkinan adanya stressor baru, keseimbangan
baru tidak tercapai dengan sempurna, pada saat itu bukan hanya menggunakan
‘mekanisme pertahanan mental’ saja tetapi akan berubah menjadi sejenis ‘jiwa yang otonom’, yaitu jiwa diluar
kendali jiwa sadar yang isinya berupa ‘peringatan-peringatan’ supaya jiwanya
tetap waspada dan supaya jiwa sadarnya percaya bahwa ancaman (stressor) masih
tetap ada, dan mengganggu keseimbangan psikis secara umum. Perasaan-perasaan
yang munculnya sangat kuat membuat dirinya merasa yakin bahwa apa yang
dirasakan mengancam dirinya itu adalah benar adanya, sehingga karena begitu
kuatnya sampai tidak bisa dikendalikan atau ditekan oleh jiwa sadar. Keadaan
ini mengganggu keseimbangan psikis, apabila dicoba melawan akan merasa masalahnya
lebih besar dan sangat melelahkan, apabila dicoba diabaikan perasaan tersebut
selalu mengganggu, apabila dialihkan kepada yang lain perasaan tersebut ikut
menyertai, dirasakan sebagai sesuatu yang sangat berat dan sangat
mengkhawatirkan kehidupannya. Apabila dinasehati maka nasehat itu akan dirubah
dan dijadikan bahan baru untuk memperkaya jiwa otonomnya serta menjadi bahan
pemikiran baru yang harus dilawan serta lebih mengganggu keseimbangan psikisnya
serta tidak jarang ‘nasehat akan membua dia merasa dipojokkan’. Apabila
dikatakan oleh orang lain supaya apa yang dirasakannya dilawan dari dalam
dirinya sendiri akan merasa bahwa orang lain tidak mengerti apa yang
dirasakannya atau menjadi berprasangka jelek bahwa orang yang menasehatinya tidak
menyayanginya, jiwanya akan merasa kelelahan berperang melawan perasaan jiwa
yang tidak nyaman serta terus-menerus muncul tersebut. Kalau rangsangan syaraf otonom meningkatkan produksi
adrenalin, kemungkinan besar jiwa otonom
mempengaruhi peningkatan produksi dan kinerja neurotransmitter. Perasaan yang
membebani jiwanya secara terus menerus akan mengaktifkan syaraf-syaraf otonom,
meningkatkan produksi adrenalin sehingga bisa terjadi berdebar-debar dan
keringat dingin serta semua keluhan jasmaniah lainnya yang tidak bisa
dihilangkan dengan nasehat. Karena sifatnya otonom tidak bisa dikendalikan
walaupun oleh pikirannya sendiri maka jiwa ini dinamakan : jiwa otonom.
Apabila
karena sesuatu stressor yang dianggap berat oleh individu itu maka jiwa otonom
muncul berlebihan, sehingga jiwa sadar
tidak mampu mengontrol keseluruhan jiwa otonom, maka aka nada jiwa otonom yang
muncul ke permukaan keasadaran menguasai sebagian kehidupan jiwanya sehingga
dirasakan sebagai suatu keadaan yang tidak nyaman. ‘Jiwa otonom’ ini merupakan
unsur jiwa yang ada pada setiap orang, dalam keadaan sehat ‘jiwa otonom’
biasanya muncul hanya dalam situasi darurat bersama-sama ‘mekanisme pertahanan
mental’, pada orang sehat jiwa otonom tidak dominan karena jiwanya didominasi
oleh jiwa sadar. Apabila jiwa otonom
muncul bukan dalam keadaan darurat yang riil maka akan sangat mengganggu dan
dirasakan tidak nyaman. Jiwa otonom bisanya muncul sebagai penyakit apabila
seseorang merasa atau berangan-angan ada sesuatu kesiagaan psikis yang harus
ditanggulangi. Pada keadaan gangguan jiwa ringan jiwa otonom tersebut dihayati
oleh penderita tetapi secara otonom berjalan sendiri tak bisa dikendalikan
sehingga dirasakan menjadi tidak nyaman dan muncul sebagai kekhawatiran dan
keluhan jasmaniyah.
Pada
keadaan normal keseimbangan psikis masih mampu untuk dipertahankan, dimana jiwa
sadar masih dominan maka jiwa otonom lebih bersifat siaga, jiwa otonom akan
menjadi dinamisator serta enersi yang kuat untuk mendorong seseorang
memenangkan persaingan, jiwanya akan tetap adapted dan efektif, sehingga
menghasilkan kemajuan dalam berbagai aspek psikis.
Pada
gangguan psikis ringan, jiwa otonom
merangsang kehidupan psikisnya menjadi siaga berlebihan, kesiagaan psikis
mungkin akan meningkatkan atau merubah kinerja neurotransmitter, maka akan ada
bagian jiwa otonom yang mulai bebas berekspresi, tetapi jiwa sadar yang
bersifat adapted dan komunikatif, masih agak kuat, hanya akan muncul dalam
bentuk, antara lain: banyak keinginan dan angan-angan sehingga konsentrasi
menjadi buyar, merasa dihantui masa lalu, kekhawatiran atau mencemaskan yang
berlebihan terutama akan masa depan, gampang lelah karena secara psikis harus
berjuang melawan dorongan-dorongan jiwa otonom. Di sisi lain walaupun banyak
keluhan dan merasakan sangat menderita, tetapi rutinitas kesehariannya masih
berjalan seperti biasa, masih bisa berkarir atau memimpin, ini menandakan bahwa
jiwa otonomnya hanya muncul sewaktu-waktu saja, jiwa sadarnya masih bisa
menguasai kehidupan untuk berinteraksi dengan dunia luar. Pada gangguan jiwa
ringan yang tidak terdapat halusinasi, tidak ada waham, tidak terdapat pula
penyimpangan perilaku yang mencolok, penderita masih bisa melaksanakan
pekerjaan atau kegiatan sehari-hari tanpa gangguan yang berarti. ‘Jiwa otonom’
sering muncul sebagai gejala berikut: ‘’merasa’ gelisah tetapi bicara dengan
tenang dan kalem, ‘merasa cemas’, ‘merasa sedih’ tetapi tidak tampak mimic
wajah berat, ‘merasa’ tidak tenang padahal bisa menyampakan maksudnya dengan
panjang lebar, ‘merasa’ bingung tetapi dia berbicara lancar, merasa tidak mampu
tapi dia memimpin salah satu divisi pada BUMN, merasa akan mati tetapi tidak
ketakutan, merasa tidak nyaman tetapi orang melihat dia enjoy saja, ‘merasa
atau khawatir’ sakit jantung atau sakit berat tetapi dia masih bisa badminton
sampai dua set, ‘merasa menderita’ tetapi orang lain menyangka dia orang yang
senang, yang mengedepan adalah perasaan cemas (anxiety), kegundah-gulanaan dan
mengkhawatirkan tentang kesehatan dirinya.
·
Pada keadaan normal jiwa otonom akan
menjadi dinamisator serta energi yang kuat untuk mendorong seseorang
memenangkan persaingan.
·
Pada gangguan jiwa ringan (bukan
psikosa) jiwa otonom masih pada taraf siaga yang berlebihan sehingga
memunculkan berbagai keluhan fisik yang irrasional dan kepribadian asli yang
sedang dirundung malang, jiwa sadarnya bisa mengatakan bahwa dia merasa sakit
atau tidak nyaman.
·
Pada keadaan gangguan jiwa berat
(psikosa) pemunculan jiwa otonom yang dirasakan seperti nyata dalam bentuk
waham, halusinasi dan perubahan tingkah laku, sehingga akan tampak sebagai
perubahan dan penyimpangan yang hebat dari warna kepribadian aslinya. Emosi dan
perasaan akan muncul depresi atau mania; keinginan dan psikomotor akan muncul
gaduh gelisah, katatonik, mutisme, impulsive, irritable atau abulia. Jiwa
otonomnya mendominasi kehidupan jiwa sadarnya sehingga wawasan penyakitnya
menjadi jelek atau yang bersangkutan tidak merasa sakit.
·
Pada keadaaan penyakit jiwa baik ringan
maupun berat yang berperan adalah jiwa otonom yang tidak bisa dikendalikan oleh
rasio dan kesadaran pada norma-norma, serta tidak bisa dihentikan oleh
kenyataan dan fakta.
Apabila
seseorang mendapat stressor yang dianggap sangat berat oleh individu tersebut,
maka jiwa otonom akan bereaksi secara hebat dengan intensitas yang tinggi,
hebatnya reaksi jiwa otonom itu tidak bisa lagi diakomodasi oleh jiwa sadar,
atau jiwa sadar tidak mampu lagi mengendalikannya secara efektif, jiwa sadar
dikalahkan oleh jiwa otonom, maka jiwa otonom bebas berekspresi, walaupun
manusia memiliki Hak Bebas ber-Fantasi (HBF) tetapi apabila berfantasi secara
bebas sampai ke puncak fantasinya sehingga keluar akan muncul sebagai gangguan
jiwa yang berat (psikosa): hidupnya
bebas berhayal, bebas berekspresi, bebas berfantasi, termasuk bebas untuk
mencurigai orang lain, merasa benar sendiri, hidup dengan waham dan halusinasi,
adanya perubahan dan penyimpangan perilaku (menurut orang lain), semuanya tidak
bisa dikendalikan oleh jiwa sadar. Pada gangguan jiwa berat, jiwa otonom
tersebut tidak dirasakan mengganggu sebagaimana pola gangguan jiwa ringan,
malahan yang bersangkutan merasa bahwa bahaya yang harus dihadapinya terasa
nyata, sehingga apa yang ditampilkan dalam perilakunya juga adalah benar
menurut pandangan jiwa otonomnya.
Semua
jenis gangguan jiwa timbul karena keseimbangan psikis terganggu, stressor
diakomodasi dengan cara yang patologis, produksi dan kinerja neurotransmitter
tidak normal, secara umum jiwanya tidak merasa nyaman dengan apa-apa yang menimpa dirinya, kalau dilihat
dari syari’at Islam adalah jiwa yang tidak mampu mensyukuri nikmat, sehingga
muncul kecewa, keluh kesah, merasa gagal, tidak berhasil, merasa kalah atau
bersedih.\
Produksi
dan kinerja neurotransmitter akan tetap berada pada keseimbangan, apabila semua
kegiatan yang baik dimulai karena niat
yang ikhlas karena Allah, dilaksanakan dengan benar, tekun, disertai
perasaan hati yang senang serta tawakal menerima nasib takdir ketentuan Allah,
maka insya Allah keseimbangan psikis tidak terganggu kesehatan jiwa pun akan
terpelihara.
Produksi
dan kinerja neurotransmitter akan kacau, apabila melakukan kegiatan-kegiatan
jelek, pekerjaan tanpa niat yang jelas, tidak ikhlas, akan dirasakan seperti
berada dalam stressor maka apabila hasilnya memuaskan, mengecewakan, serta
apabila sering mengalami keadaan seperti itu akan muncul gangguan jiwa. Kunci
supaya setelah mendapatkan stressor, jiwa bisa kembali kepada keseimbangan
psikis yang nyaman adalah dengan ikhlas menerima takdir, sabar, tawakal, dan
mensyukuri nikmat yang dikaruniakan Allah kepadanya apa adanya. Dengan
mensyukuri nikmat Allah Yang Maha Pemberi, Insya Allah neurotransmitter yang
patologis akan kembali normal dan jiwanya akan tetap sehat.
MEKANISME
MUNCULNYA GANGGUAN JIWA
BAB 3
PEMBAHASAN
A.
Islam
memandang Penyebab Kecemasan
Kecemasan seringkali merampas
kenikmatan dan kenyamanan hidupnya, serta membuat mereka selalu gelisah dan
tidak bisa tidur lelapsepanjang malam. Ada beberapa hal yang selalu menyebabkan
situasi tersebut terjadi di antaranya :
- Lemahnya keimanan dan kepercayaan terhadap Allah Swt.
- Kurangnya tawakkal mereka terhadap Allah Swt.
- Terlalu sering memikirkan kejayaan masa depannya dan apa yang akan terjadi kelak dengan pola pikir dan cara pandang yang negative terhadap dunia dan seisinya.
- Rendahnya permohonan mereka tentang tujuan dari penciptaan mereka.
- Selalu tergantung pada diri sendiri dan sesama manusia lain dalam urusan di dunia, sehingga lupa menggantungkan hidupnya kepada Allah Swt.
- Mudah dipengaruhi oleh hawa nafsu ketamakan, keserakahan, ambisi, keegoisan yang berlebihan.
- Meyakini bahwa keberhasilan berada di tangan manusia sendiri atau ditentukan oleh usahanya sendiri.
Akan tetapi, sesungguhnya manusia
tidak dilahirkan dengan penuh ketakutan ataupun kecemasan. Pada dasarnya ketakutan
dan kecemasan hadir karena adanya luapan emosi yang berlebihan. Selain itu,
keduanya hadir karena adanya faktor lingkungan yang menyertainya, misalnya sekolah,
keluarga, dan sosial (pekerjaan dan budaya masyarakat).
B. Kecemasan hingga General Anxiety
Disorder dan Post Traumatic Syndrome Disorder
Kecemasan ini pada awalnya hanyalah
bisikan akan kekhawatiran. Kemudian seseorang terlalu mendengar dan fokus pada
bisikan-bisikan ini tanpa diiringi dengan tawakal kepada Allah Swt. Sehingga
makin lama kecemasan makin melingkupi jiwa seseorang sampai bersifat mengganggu
dan patologis. Kita mengenal GAD atau General Anxiety Disorder dimana penderita
terus menerus mengkhawatirkan segala macam hal yang belum tentu terjadi dan
belum tentu ada. Berdasarkan penjelasan sebelumnya diatas, kecemasan yang
patologis ini terjadi karena jiwa otonom yang mendominasi fungsi psikis
seseorang sehingga jiwa sadarnya sulit untuk mengordinasi impuls-impuls dan
dorongan-dorongan. Jiwa otonom ini muncul karena adanya stressor yang membangkitkan
mekanisme pertahanan mental sehingga jiwa sadar yang mendominasi berubah
menjadi jiwa otonom yang isinya berupa ‘peringatan-peringatan’ supaya jiwanya
tetap waspada dan supaya jiwa sadarnya percaya bahwa ancaman (stressor) masih
tetap ada, dan mengganggu keseimbangan psikis secara umum.
Apabila karena sesuatu stressor yang
dianggap berat oleh individu itu maka jiwa otonom muncul berlebihan, sehingga jiwa sadar tidak mampu mengontrol
keseluruhan jiwa otonom, maka aka nada jiwa otonom yang muncul ke permukaan
keasadaran menguasai sebagian kehidupan jiwanya sehingga dirasakan sebagai
suatu keadaan yang tidak nyaman. ‘Jiwa otonom’ ini merupakan unsur jiwa yang
ada pada setiap orang, dalam keadaan sehat ‘jiwa otonom’ biasanya muncul hanya
dalam situasi darurat bersama-sama ‘mekanisme pertahanan mental’, pada orang
sehat jiwa otonom tidak dominan karena jiwanya didominasi oleh jiwa sadar.
Apabila
semua kegiatan yang baik dimulai karena niat
yang ikhlas karena Allah, dilaksanakan dengan benar, tekun, disertai
perasaan hati yang senang serta tawakal menerima nasib takdir ketentuan Allah,
maka insya Allah keseimbangan psikis tidak terganggu kesehatan jiwa pun akan
terpelihara.
Kunci
supaya setelah mendapatkan stressor, jiwa bisa kembali kepada keseimbangan
psikis yang nyaman adalah dengan ikhlas menerima takdir, sabar, tawakal, dan
mensyukuri nikmat yang dikaruniakan Allah kepadanya apa adanya.
Begitu
pula dengan keadaan traumatis seseorang dimana seseorang mengalami ketakutan
ekstrem, horor, atau rasa tidak berdaya. Biasanya terjadi setelah seseorang
mengalami kejadian hebat yang menakutkan bagi dirinya, sehingga setelah
kejadian tersebut berlalu, perasaan dan bayangan-bayangan akan ketakutan dan
peristiwa traumatis itu selalu muncul, baik melalui mimpi ataupun perasaan yang
mencemaskan sehingga menyebabkan maladaptif pada diri seseorang, dalam dunia psikologi
gangguan ini dinamakan Gangguan Stress Pascatrauma (posttraumatic
Stress Disorder-PTSD). Adapun Simtom/ciri ASD dan PTSD adalah:
- Mengalami kembali kejadian yang traumatis à kerap teringat kembali kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk
- Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa à mati rasa adalah menurunnya ketertarikan pada orang lain, suatu perasaan keterpisahan, dan ketidakmampuan untuk merasakan berbagai emosi positif
- Simtom-simtom peningkatan ketegangan à mencakup sulit tidur, sulit konsentrasi, waspada berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan
Jika
diteliti akar penyebab munculnya gejala-gejala tersebut adalah kurangnya
keberserahan kepada Sang Pemilik Takdir dan kurang berbaik sangka kepadaNya.
Karena dengan keimanan yang kuat, seseorang akan menerima segala ketentuan baik
musibah atau anugerah yang terjadi adalah berdasarkan kehendakNya dan ia tidak
akan pernah mengecewakan hambaNya. Seperti yang telah dijelaskan pada mekanisme
terjadinya gangguan jiwa, gangguan dapat terjadi jika seseorang berkeluh kesah
dan tidak memasrahkan segala yang terjadi kepadaNya. Iblis dapat dengan
mudahnya menjerumuskan manusia ke lembah keputus asaan sehingga manusia selalu
berada dalam ketakutan dan kecemasan yang amat, hingga akhirnya sulit untuk
beradaptasi dengan lingkungan dan dirinya sendiri karena selalu terkungkung
dalam ketakutan. Inilah yang dalam psikologi disebut sebagai Post Traumatic
Stress Disorder.
C.
Cemas
dalam Quran dan Kaitannya dengan Psikologi
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa
yang menyerahkan wajahnya kepada Allah, sedang ia muhsin, maka baginya pahala
pada sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut menimpa mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah:
112)
Ulama Quraish Shihab dalam tafsir
al-Misbah menjelaskan makna ayat tersebut. Melihat redaksi awal “siapa yang menyerahkan wajahnya..”
Wajah adalah bagian termulia dari jasmani manusia. Pada wajah terdapat mata,
hidung, dan mulut atau lidah. Kegembiraan dan kesedihan, amarah, rasa takut,
dan sedih, bahkan semua emosi manusia tampak pada wajah. Wajah adalah gambaran
identitas manusia, sekaligus menjadi lambing seluruh totalitasnya. Ayat ini
jelas mengandung unsur psikologi mengenai bagaimana manusia menyerahkan seluruh
“emosinya” kepada Allah Swt.
Wajah adalah bagian termulia dari
tubuh manusia yang tampak. Kalau yang termulia telah tunduk, maka yang lain
pasti telah serta merta tunduk pula. Siapa yang menyerahkan wajahnya dengan
tulus kepada Allah, dalam arti ikhlas beramal dan itu adalah amal baik, maka
baginya ganjaran di sisi Tuhan-nya. Amal
di sini bukan sembarang amal, tetapi amal yang menjadikan ia wajar dinamai
dalam ukuran Allah sebagai seorang muhsin yang lebih banyak kebaikannya dari
keburukannya. Ganjaran mereka adalah masuk surga, bahkan mungkin lebih dari
surga, yakni ridha-Nya, dan kenikmatan memandang wajahNya. Hal ini diistilahkan
al-Quran dengan “Tiada rasa takut menimpa
mereka, tidak juga mereka bersedih hati”.
Penulis memahami makna ayat diatas
adalah, dengan menyerahkan “wajah” kepada Allah, yang berarti adalah segala
emosi takut, sedih, marah, khawatir dan sebagainya maka seseorang akan merasa
tentram dan tidak akan merasa takut atas apa yang akan terjadi di kemudian
hari. Tidak ada yang perlu dicemaskan atau ditakutkan, karena keyakinan
terhadap ketetapan Tuhan dan penyerahan diri kepadaNya.
“Orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang
dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati.” (Al-Baqarah:
262)
“Sesungguhnya orang-orang mu'min,
orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara
mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah. Hari kemudian dan beramal saleh,
maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati”.
Cemas
atau anxiety adalah salah satu gejala gangguan jiwa yang paling banyak,
biasanya cemas berdampingan dengan depresi, sering ditandai dengan kata-kata
klasik yang menunjukkan ketidakpastian; kalau, seandainya, apabila, jikalau,
merasa khawatir akan terulang kejadian yang mengerikan, takut sakit jantung,
takut sakit kanker. Seterusnya diikuti dengan angan-angan akan terjadi kejadian
buruk menimpa dirinya.
Cemas
tentunya perlu ada untuk kehidupan manusia karena fungsinya sebagai rambu agar
manusia dapat berhati-hati dan melakukan persiapan, namun jika cemas tersebut
sudah diluar batasnya hingga mengganggu adaptasi internal maupun eksternal
manusia, ini sudah merupakan cemas yang mejadi bagian dari gangguan jiwa.
Mengutip dari Prof. Dale Carnagie (Prof. Yale Univ) dalam blog Van Paase;
23 Februari 2013, dengan sudut pandang selama 7 tahun membaca buku2 tentang
kecemasan manusia, semakin banyak orang mencemaskan sesuatu yang belum terjadi,
yang bila ditelaah lebih lanjut, kecemasan tersebut terlalu berlebihan dan
tidak masuk akal.
Sebagai contoh, seorang pedagang yang harus
menyebrang jembatan untuk mencapai tempat kerjanya dan merasa cemas bila
jembatan yang akan dilalui akan jatuh dan mencelakainya. Kemungkinan hal itu
akan terjadi adalah sangat kecil, sehingga kecemasan yang dirasakan sangat
berlebihan. Kecemasan yang berlebihan inilah yang membuat seseorang tidak dapat
berfikir dengan jernih.
Orang
yang sering memikirkan hal yang belum tentu terjadi pasti akan mengalami
kecemasan yang bisa jadi sampai mengganggu ketentraman dirinya dengan kata lain
adaptasi internal dan eksternalnya terganggu. Orang seperti ini seringkali
membayangkan hal apa yang akan terjadi di kemudian hari, padahal siapa yang
tahu tentang hari esok? Dinding yang tebalnya 30 cm saja seseorang tidak tahu
apa yang ada di baliknya, apalagi masa depan yang entah akan didapatkan atau
tidak. Mengenai mencemaskan hari esok, sayyidina Umar bin Khathab pernah
berkata bahwa “Jika engkau berada di pagi hari jangan memikirkan sore hari”.
Sabda sayyidina Umar tersebut mengandung makna untuk fokus pada perbuatan saat
ini bukan mencemaskan apa yang akan terjadi di kemudian hari.
D.
Obsesif
Kompulsif (Was-was, Ragu-ragu)
Obsesi
adalah munculnya pikiran yang tidak diinginkan secara berulang-ulang pada suatu
obyek, ide atau keinginan yang tidak bisa dilawan, khayalan atau situasi yang
susah untuk dihilangkan dan mengganggu konsentrasi. Kalau pikiran obsesi
dilawan akan muncul perasaan gelisah, berdebar-debar, lesu, ketakutan bahkan
keringat dingin. Sedangkan obsesif kompulsif selain adanya pikiran
berulang-ulang, disertai dengan keinginan untuk bertindak yang berulang-ulang
pada suatu perbuatan, dikerjakan secara berulang-ulang sehingga mengalami kelelahan;
di masyarakat umum, obsesi kompulsif ini popular disebut dengan istilah
was-was.
Was-was
(obsesif kompulsif) yang sering ditemukan adalah tentang kebersihan dan dosa; seperti mencuci najis yang seakan-akan tak mau
bersih, bersuci (mandi atau wudhu berulang-ulang) bisa sampai berjam-jam di
kamar mandi sampai menghabiskan satu batang sabun mandi, obsesif kompulsif yang
lain adalah: bolak-balik mengontrol kunci pintu, melihat-lihat berulang-ulang
takut ada yang tersembunyi, dalam beribadah misalnya, orang yang selalu
mengulang wudhunya sampai berkali-kali karena merasa wudhu tersebut belum sah,
atau orang yang mengulang-ulang takbir ketika sholat akan dimulai karena merasa
takbir yang ia ucapkan kurang
afdhal hingga ia kelelahan dan jenuh.
·
Keraguan tentang jumlah rakaat
·
Ragu sudah melakukan shalat dengan
benar
·
Ragu apakah buang angin dan telah batal wudhu
·
Ragu tentang wudhunya sudah benar/belum
·
Pikiran-pikiran yang menghina Tuhan
·
Perasaan menetap bahwa pakaiannya tidak
bersih
·
Mengulang shalat
·
Melakukan sujud sahwi tiap kali shalat
·
Melakukan wudhu berkali-kali
·
Menghabiskan banyak waktu untuk berwudhu
·
Menghabiskan banyak waktu untuk
membersihkan/mencuci. misalnya mencuci tangan setelah makan
Ada yang menarik mengenai
obsesif kompulsif yang sering ditemukan adalah tentang kebersihan dan dosa,
apakah ini ada hubungannya dengan perasaan bersalah yang amat dalam atas dosa
yang telah diperbuat dan merasa harus menyucikan diri terus menerus dan
mengulang-ulang beribadah agar dapat sah?
Ada
suatu kasus yang disampaikan oleh salah satu dosen mata kuliah abnormal seorang
laki-laki yang mengalami obsesif kompulsif, ia terus mencuci tangannya hingga
lecet, ternyata setelah ditelusuri hal tersebut terjadi karena perasaan
bersalahnya telah “selingkuh dengan wanita lain”. Ia merasa sangat bersalah
kepada istrinya sehingga wujud dari perasaan menyesal dan ketidak tenangan itu
adalah terus-terusan mencuci tangannya untuk memastikan bahwa tangannya
benar-benar “bersih”.
Kasus
lain mengenai kebersihan dan najis: seorang mahasiswa tingkat akhir, skripsinya
yang seharusnya sudah selesai tetapi tidak dikerjakan dengan alasan yang tidak
jelas, orang tuanya dari kampung datang menjenguknya, mahasiswa tersebut tidak
mau menyalami orang tuanya. Orang tuanya melihat anak tersebut kurus kering,
buku-buku anaknya seperti terkena air, waktu ditanyakan kepada teman kostnya,
penderita sering mencuci bukunya bahan pernah mencuci semua buku-bukunya di
kolam di dekat teman kostnya, serta akhir-akhir ini tidak pernah makah bersama
kawan-kawannya. Mendengar cerita kawannya tersebut, orang tuanya langsung
membawanya berobat, setelah diberi psikofarma di rumah sakit hampir satu bulan
serta dilakukan Psikoterapi Holistik Islam beberapa kali, ahamdulillah peserta
sembuh serta bisa menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Dalam pemeriksaan terdapat
bahwa dalam benak (jiwa)-nya dia merasa bahwa kebanyakan makanan pernah dimakan
oleh orang yang suka daging babi yang najis, buku-bukunya juga dibeli dari
orang yang suka makan daging babi, jadi buku tersebut pernah dipegang oleh
orang yang makan babi, berarti buku-bukunya tercemar najis babi dan baru bisa
bebas dari najis kalau dicuci.
Kasus diatas sepertinya cukup
menggambarkan alasan mengapa obsesif kompulsif seringkali ditemukan tentang
kebersihan dan dosa.
Psikologi modern belum mampu menemukan penyebab pasti
mengenai masalah OCD ini. ada
pendapat yang mengatakan bahwa seseorang dapat mengenali pikiran obsesi itu
berasal dari dirinya atau luar dirinya,
tapi pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana seseorang bisa menciptakan
pikiran-pikiran yang bahkan tidak pernah terlintas dalam bayangannya untuk
memikirkan hal tersebut?
Dari perspektif Islam, pikiran-pikiran yang tidak diinginkan
disebut was-was, yakni sesuatu yang dibisikkan syaitan ke
dalam hati dan pikiran manusia. Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “..dan
tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka.
Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. dan
cukuplah Tuhan-mu sebagai Penjaga". (QS. Al-Israa: 64-65)
Bisikan syaitan ini berperan penting dalam
berkembangnya penyakit mental atau
gangguan psikologis, dan kita sebagai manusia diperintahkan untuk memohon
perlindungan kepada Allah dari musuh yang tidak terlihat ini: “Katakanlah:
"Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. raja
manusia. sembahan manusia. dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa
bersembunyi,yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,dari (golongan)
jin dan manusia.” (QS. An-Nas: 1-6)
Di sini nampak bahwa kita memang memiliki pikiran-pikiran
tersebut, akan tetapi sebenarnya syaitan lah yang membisikkan pikiran itu
kepada kita dan menipu kita seakan itu adalah pikiran yang muncul dalam diri
kita sendiri.
Menurut terapi kognitif-behavior, kebanyakan orang punya
pikiran yang menganggu dan tak diinginkan, sama seperti yang dimiliki oleh
orang dengan OCD. Tapi, mengapa sebagian orang mengembangkan OCD dan lainnya
tidak? Jawabannya, kebanyakan orang tidak menghiraukan pikiran tersebut,
sementara orang dengan OCD tidak mampu melakukannya.
Sebagian orang memang sangat sulit untuk menolak
bisikan-bisikan syaitan itu, karena mereka sendiri bingung dari mana asalnya.
Mereka jadi mencampuradukkan gangguan syaitan itu dari diri seseorang
(pikirannya), dan dari bagian yang lebih dalam lagi yakni ruh. -
Yang lainnya malah sama sekali tidak mengindahkan
kerasnya bisikan syaitan itu (was-was), dan setiap pikiran
yang muncul dengan tingkat kekuatan tertentu, dianggapnya bersumber dari
dirinya. Dan, ada yang benar-benar tidak percaya pada bisikan syaitan.
Jadi, karena satu dan lain hal, saat seseorang mulai
mempercayai bisikan syaitan itu, ia akan mengembangkan gangguan dalam
dirinya. Sebaliknya, siapa yang telah mengalahkan bisikan itu, tidak akan
mengembangkan gangguan tersebut. Dan Karena musuh kita ini tak terlihat, maka
ada cara yang spesifik untuk melawannya. Ini dia:
- Kita harus sadar akan
taktik syaitan, termasuk kekurangan dan keterbatasan mereka
- Kita harus tahu
karakteristik was-was yang ditimbulkan oleh syaitan.
- Kita harus mengetahui
kekuatan diri kita sendiri serta keterbatasan kita.
Teori kognitif juga menyebutkan bahwa selama seseorang
mengartikan pikiran yang menganggu sebagai suatu “bencana”, maka selama itu
pula ia tetap mempercayai bahwa pikiran itu benar adanya. kemudian mereka akan
menjadi stres dan melakukan tindakan menghindar atau ritual-ritual.
Rasulullah Shallalahu
alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah swt memaafkan umatku terhadap
pembicaraan didalam jiwanya selama mereka belum mengatakan atau
mengamalkannya.”(HR. Bukhari)
Ini karena saat kita melawannya, jangan membicarakan
hal tersebut atau melakukannya, sehingga, mereka tidak dapat membahayakan kita
atas ijin Allah. Was-was, seperti yang
disebutkan di atas, adalah suatu fenomena yang terjadi pada kita semua, tapi
sebagian memeliharanya dengan frekuensi dan tindakan yang membuat seseorang
menjadi budaknya. Tapi, ada solusi pada
setiap penyakit: Allah menurunkan penyakit dan menurunkan pula obatnya,
diketahui oleh yang mengetahui dan tidak akan diketahui oleh orang yang tidak
mengerti. (HR. Bukhari dan Muslim)
E.
Pintu
Masuk Setan Untuk Merusak Hati
Hati bagi
anggota tubuh seperti raja yang mengatur para prajurit. Semua tindakan
bersumber dari perintahnya dan ia pun dapat mempergunakan tindakan tersebut
sesukanya. Semuanya di bawah kekuasaannya. Darinya seseorang akan konsisten
dengan nuraninya dan mematuhi keyakinan yang diyakininya. Kepribadian seseorang
akan baik apabila hati baik, begitu pula sebalikya.
Setiap
muslim diwajibkan untuk mengawasi hatinya, mengetahui keadaannya, dan
mengisinya dengan nasihat-nasihat baik dari waktu ke waktu. Ia pun harus
menyadari bahwa hati yang baik akan mengantarkannya kepada kebahagiaan yang
abadi; dan hati yang rusak akan mengantarkannya kepada kesengsaraan dan
kesusahan.
Setan
yang terkutuk mempunyai banyak cara untuk memasuki hati manusia. Di antaranya
adalah dengan rasa was-was yaitu gerakan atau suara yang tersembunyi yang tidak
dirasakan. Manusia hendaknya berhati-hati darinya. Was-was adalah pemberian
tersembunyi pada diri entag dengan suara yang tersembunyi yang tidak didengar
kecuali bagi yang dituju atau dengan selain dari suara seperti setan yang
menunggu hamba (Tafsir al-Qayyim: 600)
dalam.
Sesungguhnya
asal usul setiap maksiat adalah adanya rasa was-was. Setan hanya memasuki hati
yang kosong dari zikir, takwa dan ikhlas. Dengan hati kosonglah setan dapat
meluncurkan rasa was-was itu dan berdiam di dalamnya.
BAB IV
KESIMPULAN
Sebenarnya
segala penyakit dan gangguan yang terjadi pada jiwa manusia adalah karena
kurangnya keyakinan (keimanan) kepada Sang Pemilik Hidup. Karena dengan iman
yang kuat dan kedekatan kepada Allah Swt, hati akan senantiasa dibimbing dan
dijaga agar tetap berada dalam cahaya. Geliat hati bermacam-macam dan akan
senantiasa berbolak-balik sehingga muncul berbagai perasaan baik positif maupun
negatif. Tugas kita sebagai manusia adalah untuk beradaptasi dengan geliat hati
ini dengan berbagai cara yang telah dianjurkanNya. Allah Swt Mahatahu bahwa
manusia akan mengalami berbagai kecemasan dan ketakutan karena banyaknya
tekanan (stressor) dan bisikan-bisikan setan yang selalu menjerumuskannya. Oleh
karena itu, Ia pun mempersiapkan berbagai obat untuk mencegah berbagai
kecemasan dan ketakutan agar tidak sampai menjadi suatu gangguan jiwa yang
akut.
Umat
Islam telah mengetahui mengenai obat penyembuh berbagai penyakit jiwa ini.
Yaitu: Sholat malam, Berdzikir malam, berkumpul dengan orang sholeh dalam
artian orang sholeh disini adalah orang yang memiliki energi positif, karena
energi akan menular makanya Ia memerintahkan kita untuk senantiasa berdekatan
dengan orang yang berenergi positif (sholeh). Perbanyak membaca al-Quran, bukan
hanya membaca tetapi juga merenungi makna dan mengamalkan ajarannya. Perbanyak
berpuasa. Sekarang ini sudah banyak orang yang menerapkan cara berpuasa bahkan
mereka yang bukan dari kalangan Islam, karena tahu dan sudah mendapatkan
manfaat dari berpuasa ini. Bukan hanya Islam yang mengajarkan berpuasa,
berbagai agama pun berisi anjuran mengenai puasa dengan cara yang berbeda
tetapi bertujuan sama untu mendekatkan diri kepada Tuhan.
Berbagai
pendekatan psikologi pun kita temukan berbagai terapi untuk menyembuhkan
gangguan-gangguan jiwa diantaranya adalah: Berpikir positif atau dalam Islam
dikenal dengan Husnu Dzan agar terhindar dari ketakutan dan kecemasan. Kemudian
penerimaan positif terhadap diri atau dalam Islam yang dinamakan Qona’ah. Dalam
Psikologi Transpersonal ada istilah Letting Go untuk melepas semua beban yang
ada dan dalam Islam dikenal dengan istilah pasha (Ikhlas) dengan segala
ketentuanNya. Semua konsep tersebut baik dalam Islam maupun Psikologi adalah agar
manusia dapat mengobati berbagai kecemasan dan ketakutan.
Tuhan tahu bahwa manusia akan banyak berprasangka
buruk atau paranoid, maka Ia siapkan terapi Husnu Dzan
Tuhan tahu bahwa manusia akan mengalami kecemasan
yang amat, maka Ia siapkan obat Berserah diri (Tawakal)
Tuhan tahu bahwa manusia akan akan berputus asa,
maka Ia anugerahkan Rahmat yang tiada putus-putusnya.
"jangan khawatir, Aku bersamamu"
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Adil Fathi. 2004. Membangun Positive Thinking Secara Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Al-Jauziyyah,
Ibnul Qayyim. 2002. Membersihkan Hati dari Gangguan Setan. Jakarta: Gema Insani Press
Said
Az-Zahrani, Musfir. 2005. Konseling Terapi. Jakarta: Gema Insani Press.
Semiun,
Yustinus. 2010. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Kanisius
Tadjudin, Ibin Kutibin. 2007.
Psikoterapi Holistik Islami. Bandung: Kutibin
Satu Referensi lagi:
BalasHapusShihab, M. Quraisy. 2002. TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian al- Quran. Jakarta: Lentera Hati.