My Destiny, Mak?
Kanza, menatap langit hitam dengan
bintang yang senasib dengannya dalam sendiri. Sudah tengah malam, ia masih
belum ingin merebahkan dirinya ke tempat tidur. Matanya menerawang, pikirannya
mengawang. Teringat segala tetek bengek seharian tadi yang menganggu
pikirannya. Masnya yang tak berhenti mengganggu dengan menyalakan musik
keras-keras, Ibu yang sedang sakit, dan ditambah lagi mak yang mengatakan
sesuatu yang ia anggap masa depannya.
Siang hari, Kanza memijat mak di
beranda. Mak bercerita tentang masa lalunya sebagai gadis desa incaran para
pemuda. Dulu. Kanza tersenyum penuh simpati sesekali tertawa mendengar gurauan
lucu saat mereka mak digoda. Kanza menikmati cerita mak, ia paham mak sedang
mengenang ‘masa kejayaannya dulu’, tak berani Kanza untuk menyela atau
bertanya, melihat maknya yang begitu bersemangat.
Mak berhenti bercerita,
“Don, Mak sudah banyak cerita,gimanaa?
Sudah punya pacar belum?” Kanza terkejut atas pertanyaan mak yang tiba-tiba
itu. Namun teringat tentang seorang yang menjadi ‘musuh’nya, Kanza langsung
tertawa.
“Haha, Mak tau sendiri aku gak
tertarik sama yang begituan, ada juga yang bikin aku tertarik buat bogem dia.” Ujar Kanza, tangannya
mengepal tinju.
“Lho, kok begitu, Don?”
“Gak papa, Mak. Cuma dia itu suka
gangguin, bikin aku kesel…” Kanza cemberut. Mak tersenyum melihatnya.
“Suka mungkin dia itu sama kamu, Don.”
Mak merayu.
“Haha.. boro-boro Mak, dia itu
sukanya panggil aku wong elek,
apaan.. orang cakep gini kok ya mak ya?” Kanza nyengir. “Tapi ya Mak, kalo ada
apa-apa dia itu minta tolongnya sama aku. Abis itu? Hrrrgg.. kok bisa ya Mak,
dia se-PD itu?“ Kanza geram, namun ada sesuatu di binar matanya.
“Hmm.. harusnya kamu bersyukur,
berarti dia itu anggap kamu orang baik.” Kalimat Mak ini membuat Kanza
mengerutkan dahi.
“Iya lho Don, karena meskipun dia
buat kamu kesal, tapi dia tetap minta tolong sama kamu, itu karena dia yakin
kalo kamu orang baik dan akan nolong dia.”Mak tersenyum, kanza mengangkat alis
lalu menghembuskan nafas berat. Mak menatap cucu perempuan kesayangannya itu,
lalu..
“Sini Don, Mak lihat telapak
tanganmu.”
Kanza berhenti memijat, lalu
menyodorkan tangannya pada Mak.
“Wah, Mak mau ngramal aku ni Mak?” Pupil
mata Kanza membesar. Mak tersenyum sambil melihat sesuatu di telapak tangan
Kanza.
“Hmmm., jodohmu itu teman SD.” Ucapan
Mak ini membuat mata Kanza membelalak. Mak tertawa melihat wajah cucunya itu.
Memikirkan kejadian siang itu, Kanza
jadi tak bisa tidur. Ia terus menatap ke luar jendela yang terbuka, sambil
bersandar pada kursi meja belajarnya.
Pagi-pagi, Kanza sudah siap dengan
sepedanya. Ibu memintanya untuk ke pasar membeli bahan dapur. Seorang laki-laki
dengan telanjang dada datang menghampirinya. Mas
“Kemana dek?” Tanya Mas.
“Ke pasar, disuruh Ibu.” Jawab Kanza
tak acuh.
“Yuk, Mas anter” pinta Mas sambil
memakai kaos oblongnya.
“Dih, tumben..” Kanza mengerlingkan
mata dengan senyum mengejek. Mas nyengir kuda.
Angin pagi yang segar seolah memberi
kebahagiaan bagi pohon-pohon yang menyambut matahari. Tapi tidak bagi Kanza,
menurutnya angin itu membawa sesuatu.
“Ih Mas, kamu belum mandi?” celetuk
Kanza di atas motor.
“Kenapa emang? Harum ya?” Ucap Mas dibalik
kemudi motor, tersenyum sambil mengangkat alis.
“Bau tau!”
“Yo biarin toh, biar bau juga banyak yang mau, hahaha” Mas tertawa penuh
bangga. Kanza memukul pundaknya.
“Eh Dek, By the way any way busway,
punya temen cewek yang masih single gak?”
“Owalahh.. pantesan mau nganter aku,
ini toh maunya.. hmm”
“Sebagai adek yang baik itu, yo
harus bantuin masnya mencari teman toh?”
“Teman, teman, teman jalan kali,
katanya banyak yang mau… lha kok minta dicarikan..” Kanza mengerling,
mengalihkan pandangannya ke rumah-rumah yang mereka lewati.
“Ah.. itu biasa aja, just Phone a
Friend. Mas pengen nyari yang klik” pandangan mata Mas serius. Kanza
mengernyitkan kening.
“Ha? Mesra-mesraan begitu dibilang
biasa? Eh Mas, jangan mempermainkan wanita ya, adekmu ini juga wanita. Hukum karma
itu pasti berlaku Mas..”
“Eh Dek, dengar ya, Ma situ tipe
orang yang suka nyari teman…”
“Iya, teman cewek” Nada bicara Kanza
sebal.
“Denger dulu… dan Mas itu suka
ngetes orang, ternyata mereka tidak sesuai dengan yang Mas harapkan”.
“Maksudnya Mas?”
“Mereka yang hanya mengandallkan
penampilan luar semata. Yow is Dek, sudah sampai, pulangnya sendiri aja ya? Mas
ada janji mo nganter si dia, hehe bye bye honey..!” Mas meninggalkan Kanza
dengan senyum khasnya. Kanza menggeleng, sambil memperhatikan kakaknya yang
makin menjauh.
Perbincangan itu memberikan
pengetahuan baru bagi Kanza bahwa pemain cinta sekalipun akan mencari seorang
yang terbaik. Tidak hanya secara fisik.
@@@
Perjalanan pulang Kanza tak
menghiraukan lingkungan sekitar. Ia terpaku pada dirinya sendir dan masih
memikirkan yang disampaikan Mak tentang teman SD.
Apa benar? Teman SD? Siapa? Batinnya.
Ia tak menyadari seseorang dengan
helm hitam bertanda tangan memperhatikannya di belakang. Orang itu menyalakan
mesin motornya dan menghampiri Kanza.
“Hai Kanza ya? Ini nomor
handphoneku, simpan ya?” ia tiba-tiba berkata yang mengejutkan Kanza ditambah
lagi tanpa melepas helmnya. Belum sempat Kanza mengucapkan sepatah kata pun,
orang itu pergi meninggalkan Kanza yang heran luar biasa. Ia terpaku pada
secarik kertas yang diberikan orang tadi. Orang
aneh.. Siapa sih? PD banget dia, fansku di kampus kali? Tapi kalo ngefans ya
dia yang minta nomor aku. Aneh.. atau jangan-jangan teroris?? Hii.. Kanza
bergidik, cepat-cepat ia ke pangkalan ojeg untuk segera sampai di rumah.
@@@
@@@
Kanza berkutat dengan laptopnya. Bukan
sesuatu yang serius, tapi baginya hal tersebut adalah masa depannya. Media sosial,
adalah salah satu harapannya malam itu. “Teman SD” telah membuatnya insomnia. Ia
sendiri pun tak menyangka bahwa akan sebegitu pedulinya dengan sesuatu yang
dulunya ia abaikan. Apakah begini jadinya jika seseorang diberi sedikit bocoran
tentang masa depan?
Dalam hatinya ia yakin bahwa Tuhan
telah mempersiapkan seseorang yang akan menjadi pasangan hidupnya. Namun, rasa
ingin tahu yang begitu kuat, sulit ia redam. Disisi lain, dalam dirinya
mengatakan belum tentu betul apa yang dikatakan Mak. Tapi Mak sudah banyak makan asam garam dan memang mempunyai kemampuan
seperti itu duhh…. Galau…
Sudah tengah malam, Kanza masih di
depan layar notebooknya. Sejumlah nama dan keterangan ia temukan. Matanya berputar
mencari jawaban. Sesaat menggeleng kepala, mengangguk, menggeleng lagi. Begitu ia
lakukan setiap menemukan profil seorang teman. Kelopak mata yang memprotes
untuk menutup tak ia hiraupak. Duk! Keningnya terantuk keyboard.
@@@
Suasana kelas yang ricuh tak membuat
Kanza yang sedang duduk di sudut ruangan itu berpaling dari ‘dunianya’. Seorang
pria bertubuh tegap datang menghampirinya dengan seringai jahil.
“DOR!”
“ Eh Dor! Ah.. kamu! Dateng2
gangguin orang”.
Pria itu tertawa. “Lagian pagi-pagi
udah ngelamun lu, tumben, biasanya suka heboh, kenapa girl?” Tanya lelaki itu
menarik bangku dan duduk dihadapan Kanza.
“Bil, aku mo Tanya… emm.. gimana
kalo ada yang kasih tau kamu tentang orang yang bakal jadi jodoh kamu?”
Pertanyaan Kanza membuat pria itu bengong lalu tertawa. “Oh, jadi elu
mikirin jodoh Za?, kok bisa-bisanya sih? Nih gua kasih tau elu ya, ga usah
dipikirin, jodoh itu udah diatur Tuhan, jadi….” Belum selesai ia berbicara,
Kanza menyela,
“Itu juga aku tau, bukan itu… tapi
gimana kalo kamu dikasih tau siapa orangnya?”
Laki-laki itu memiringkan kepalanya.
“Aneh lu ah, tapi kalo iya gue tau siapa orangnya. Misalnya ada yang kasih tau
gue siapa orangnya, blab la bla, gue bakalan check n recheck dulu dia kayak
gimana, trus apa dia bakal klop ga sama gue. Kalo ternyata gak sesuai harapan,
ya udah, gue cari yang lain, meskipun orang itu bilang dia bakal jadi jodoh
gue. Karna gue yakin, yang namanya jodoh itu, kesesuaian jiwa…” lelaki itu
mengakhiri pembicaraannya dengan mengembangan telapak tangannya di udara,
dengan mata yang berbinar.
Bersamaan dengan itu, seorang pria berjenggot
putih memasuki ruangan.
@@@
Di akhir jam pelajaran, Kanza
mendapat secarik kertas dengan tulisan:
Za,
gue bosen berantem mulu sama lo, sabagai tanda damai dan permohonan maaf gue
ngagetin lo tadi. Kita jalan yuk?
NB: Wajib mau!
By: your lovely enemy, Nabil.
Kanza tersenyum dengan raut wajah
agak heran. Ia menoleh pada sang pengirim surat. Nabil. Ia tersenyum lebar pada
Kanza.
“Eh, kamu mau kemana emang? Gak ada
niat nyulik aku kan?”
“Udah ikut gue, sekalian lu certain hal
yang bikin lu surem gitu. Yuk!”
@@@
Matahari siang itu perlahan tertutup
awan yang menghitam. Tiupan angin pun lebih keras dari sebelumnya. Bunga-bunga
yang cantik terlihat sepi karena tak ada satu pun lebah yang hinggap. Atmosfer yang
melankolis.
Di sebuah bangku panjang di taman
itu, Kanza dalam balutan jaket tebal bercerita pada Nabil tentang perkataan Mak
yang membuatnya galau akhir-akhir ini. Beberapa kisah membuat lelaki itu
tersenyum geli. Mereka berdua tak menyadari, seseorang dengan helm hitam
bertanda tangan memperhatikan dari jauh.
“Haha! Za… Za… lu lebay juga! Sampe insomnia
gara-gara penasaran gitu doang? Woles Za..”
“Diem, kamu gak ngerti sih gimana
galaunya” Kanza mengerling.
“Emang gimana sih rasanyaaa.. cuu
cuu cuu.. “ Lelaki itu berkata dengan nada jahil. Mulutnya mencucu. Kanza mendorongnya.
“Gak taulah, pokoknya perasaan yang
belum pernah aku rasain sebelumnya” Kanza memejamkankan mata sambil menghembus
nafas berat.
“Tau gak Za, terkadang kita gak
menyadari kalo sesuatu yang kita cari itu udah sedekat ini” Lelaki itu
membentuk huruf V dengan dua jarinya. Kanza merenung. Tiba-tiba ponselnya
berbunyi. Sebuah kabar dari sana bahwa Ibu masuk rumah sakit. Bergegas ia
pergi, begitu pun lelaki di sampingnya.
@@@
Kejadian yang berturut-turut menimpa
Kanza membuat hatinya gundah. Kondisi Ibu yang belum membaik pun menambah
gelisah hatinya. Di ruangan 6x5 meter itu ia duduk menatap langit dengan satu
bintang yang senasib dengannya dalam sendiri. Ada yang berbeda dengan bintang
yang biasa menemaninya itu. Sinarnya meredup. Dan entah kenapa melihat itu,
matanya berkaca-kaca. Membentuk pelangi di kedua konjungtivanya. Hingga genangannya
tak terbendung lagi. Kanza sesenggukan.
Sesuatu membuatnya beranjak, ia
menghapus air matanya dan menuju meja belajar. Sebuah laci ia buka, di dalamnya
ada secarik kertas dengan nomor handphone. Kanza berdehem, menghilangkan
gemuruh aneh di tenggorokannya. Tit tut tit, dengan tangan bergetar gadis itu
memberanikan diri memijit tombol handphone. Berharap ada sesuatu yang berarti
di sana. Seorang dengan helm hitam yang bertanda tangan.
“Halo..” Kanza menyapa saat ada
tanggapan dari sana.
“Kana?” Tanya suara di seberang yang
membuat Kanza tersentak. Darimana dia tau
nama kecilku?
“Maaf ini siapa?” Suara Kanza
terdengar gugup.
“Apa kabar?”
“Baik, ini siapa ya?” Nada bicaranya
naik, dan tuuutt… tak ada jawaban dari seberang. Ia mencoba menghubungi lagi,
namun tetap tak ada jawaban. Perasaannya makin tak menentu, keningnya
mengernyit. Kok dia tau nama kecil aku
ya? Hmmm.. kana kan panggilanku waktu SD.. Ha?!!
Ponselnya berdering. Nabil menelfonnya.
“Halo Za?” suaranya tercekat.
“Ya Bil, ada apa?” Tanya Kanza agak
cemas.
“Lu, sini ya.. temenin gue.. kakak
gue.. kecelakaan….”
@@@
Tanpa izin Mas, Kanza mengambil
kunci motor. Ia tak mengambil baju hangat atau apapun yang bisa melindunginya
dari dinginnya angin malam itu. Dengan kencang Kanza mengemudikan motornya. Dipikirannya
hanya satu, Nabil. Kawan sekaligus musuh sejatinya.
Langkah kaki Kanza yang bergegas
mencari ruangan tempat Nabil dan kakaknya membuat orang-orang di rumah sakit
itu melirik ke arahnya. Ia tak menghiraukan itu dan terus mencari ruang Unit
Gawat Darurat.
Gadis itu berdiri di depan sebuah
pintu dengan orang-orang berjas putih yang berlalu lalang. Ia masuk ke dalam
mencari seseorang yang ia kenal. Di balik kerumunan dokter dan para perawat,
terbaring seorang yang badannya ditutupi kain putih. Dada Kanza sesak. Dia
melihat sekeliling dan menemukan seorang lelaki terduduk dengan kesedihan
mendalam. Dengan langkah pelan, Kanza menghampiri lelaki itu.
“Yang kuat ya Bil….” Ucap Kanza
menahan tangis. Lelaki itu sesenggukan. Kanza mengusap pundaknya. Dan tak jauh
dari tempatnya duduk, ia melihat sesuatu yang tak asing. Sesuatu yang kali ini
menghantam jantungnya. Itu helm hitam bertanda tangan. Dalam suara terbata
Kanza bertanya,
“I…itu punya siapa, Bil?”
“Punya.. kak Dimas…”
Tak ada kata-kata lagi malam itu,
hanya butiran air mata yang mengalirkan jawaban atas sejuta tanda tanya.
@@@
Komentar
Posting Komentar