Cerpen



Hello All! This is my Fiction Story, aku buat pas jaman SMA.  Semoga banyak pelajaran yang bisa diambil didalamnya,, Enjoy It!


TERPISAHNYA YIN DAN YANG



            Ada dua bintang di langit sebuah desa terpencil itu. Mereka saling berkelap-kelip, seperti sedang bersaingan sinar. Namun, kedua bintang itu saling berjauhan. Satu di utara dan satu lagi di selatan. Para penduduk percaya bahwa selalu ada tanda-tanda dan misteri dibalik kemunculan bentuk dan gugusan bintang. Termasuk Astro dan Andromeda di atas sana. Seperti hari-hari sebelumnya, suasana desa begitu sunyi. Namun, sebuah gubuk dengan lampu temaram sedang menjadi saksi bisu atas wanita yang tengah berusaha setengah mati membuat anak-anaknya dapat menghirup udara bumi. Ya, anak-anak. Karena yang lahir adalah dua bayi perempuan yang menyebabkan wanita itu tersenyum penuh kebahagiaan. Nenek tua yang membantunya melahirkan meletakkan kedua bayi tersebut ke sampingnya. Si nenek turut bersuka cita, sang ibu beserta anak-anaknya selamat.
            “Raeko, mau kau beri nama apa anak-anakmu ini?” si Nenek bertanya.
            Raeko tersenyum, lalu berkata “Yin dan Yang. Legenda keseimbangan hidup China.” Jawab Raeko, lalu memeluk bayi-bayinya.
            “Yin untuk yang sebelah kanan dan yang satunya adalah Yang, Betul?” nenek bertanya lagi. Raeko mengangguk dan memejamkan mata. Namun tiba-tiba Raeko resah, ada sesuatu yang ganjil disana. Hanya seorang bayi yang menangis sejak dilahirkan.
            “Nenek, mengapa dari tadi hanya Yang saja yang menangis?” Tanya Raeko khawatir. Nenek tua itu bergegas mengambil bayi yang tidak mengeluarkan suara sama sekali, membalikkan badannya, lalu menepuk-nepuk pantatnya. Namun, sang bayi tak kunjung bersuara. Si nenek memutarkan kepala bayi tersebut dengan posisi dibawah, lalu menepuk-nepuk pantatnya lagi. Hasilnya…? Nihil. Si bayi tetap tak keluarkan tangis kehidupan.
            Kecewa amat sangat tergambar di wajah si nenek. Raeko yang sangat letih tak bisa berkata apa-apa. Hanya senyum luka dan air mata yang bisa menyiratkan suasana hatinya.
            “Maafkan aku Raeko…. Aku… aku… hiks.. hiks… aku tidak berhasil menyelamatkannya…” si nenek menitikkan air mata. Begitupun Raeko, pandangan matanya kosong dan wajahnya pucat.
            “Mungkin… Yin lebih memilih kehidupan yang abadi di atas sana.” Ucap Raeko dengan suasana hati yang ia pun tak dapat mengerti. Ia memeluk Yang, berusaha menghentikan tangisnya yang makin kencang. Mungkin, Yang merasakan sakit akan kehilangan separuh jiwanya.
            Tak lama kemudian, nenek tua itu membalut tubuh Yin dengan  kain-kain hingga menutupi seluruh tubuhnya, kemudian meletakkannya lagi di samping Raeko yang langsung mencium jasadnya sepenuh hati. Raeko menangis.
            “Pergilah kemana pun kau mau.” Ucapnya.
Sejenak semua membisu. Yang pun berhenti menangis dan tertidur dalam dekapan Raeko walau tubuhnya masih bersimbah darah. Angin yang makin kencang membuat jendela menabrak-nabrak dinding. Tirai pun melambai-lambai tak karuan. Tiba-tiba air muka nenek tua itu berubah menjadi gelisah. Lalu, ia tergesa-gesa mencari-cari sesuatu, membereskan peralatannya, dan cepat-cepat membungkus semuanya dalam sebuah kain besar. Raeko yang gelagat aneh itu kemudian bertanya
“apa yang Nenek lakukan? Untuk apa?” Si Nenek menoleh ke arah Raeko tiba-tiba dengan tatapan ketakutan.
“Raeko… aku yakin malam ini para perampok kejam yang dulu pernah mengobrak-abrik desa ini akan datang lagi.” Jawab si Nenek gelisah, matanya berputar ke segala arah, lalu ia menutup jendela.
“Memangnya seberapa kejam mereka?”  si nenek yang sedang menutup pintu, terdiam. Lalu, ia berbalik menuju Raeko dengan tatapan nanar.
“Mereka merampok harta penduduk hingga habis, memperkosa semua wanita, tak peduli gadis atau bukan, menyiksa tanpa ampun dan membunuh korban mereka hingga tubuhnya terkoyak.” Keterkejutan luar biasa memenuhi wajah Raeko. Ia tak habis pikir. Tak percaya pada pendengarannya. Raeko membisu. Matanya menerawang ke langit-langit. Ia memeluk Yang lebih erat.
“Ayo Raeko, bangun. Kumpulkan sisa-sisa tenagamu. Kita semua harus menyelamatkan diri!”
Selang beberapa waktu kemudian, Nenek tua, Raeko dan bayinya paergi meninggalkan gubuk dalam keadaan berantakan. Merasa tak ada waktu lagi, nenek itu menyuruh Raeko yang sedang lemas dan lunglai untuk berlari. Sesaat mereka mengedar pandangan kesekeliling. Terlihat beberapa penduduk pun berpikiran sama dengan mereka, tentang keanehan malam itu.
Setelahberada cukup jauh dari desa, bayi yang berada dalam pangkuan Nenek tua itu sontak menjerit. Raeko menatap si Nenek dengan pandangan nanar ia  sudah tak kuat untuk melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba ia terjatuh dan tak sadarkan diri di dekat kaki si Nenek yang tak tahu harus berbuat apa. Rupanya mereka semua tak ada yang menyadari, jasad Yin masih berada dalam balutan kain-kain di Gubuk yang mati.

*******
Derap langkah kaki kuda dengan jumlah banyak nan, memasuki sebuah dusun terpencil, tak lama setelah Raeko dan rombongan pergi ke utara. Hentakkan kaki-kaki mereka menyebabkan debu-debu beterbangan hebat dan para hewan kecil pun ketakutan. Samar-samar, terlihat kibaran bendera yang terdapat pada barisan paling depan. Makin lama, siluet-siluet itu makin jelas. Ringkikkan panjanng kuda tergagah pertanda rombongan itu telah berhenti disuatu tempat. Salahsatu dari mereka, yang mengenakan lencana panglima melempar pandangan tajam keseluruh penjuru dusun.
Ini aneh… Batinnya.
“Mengapa tempat ini begitu sunyi? Ada yang tahu?” Ia menoleh kearah prajuritnya.
“Hormat hamba, yang mulia. Hamba mendengar para penduduk sebelumnya selalu meninggalkan desa dan mengungsi kedaerah lain, untuk menyelamatkan diri dari para perampok kejam yang tak kenal belas kasihan. Mungkin malam ini juga mereka melakukan hal yang sama. Maaf Yang Mulia Panglima Oroto, hanya itu yang hamba tahu”. Prajurit itu menundukkan kepalanya. Panglima bernama Oroto itu mengusap dagunya sambil mengerutkan kening.
“Mm Terimakasih. Tapi… bukankah para perampok itu sudah dibereskan oleh keamanan kerajaan? Hmmm mungkin mereka salah mengira.” Sejenak Sang Panglima merenung. Kemudian ia memerintahkan seluruh prajuritnya untuk menyebar ke segala penjuru, untuk mencari seseorang atau sesuatu yang bisa memberi informasi tentang dusun tersebut. Semua bergegas melaksanakan perintah. Oroto beserta beberapa prajuritnya langsung menuju arah utara.
Samar.. Oroto mendengar tangisan bayi dari sebuah tempat. Ia menoleh kearah para prajuritnya yang juga mendengar hal yang sama. Mereka pun sepakat untuk memasuki sebuah gubuk dengan lampu temaram  yang mereka rasa sumber tangisan itu. Mereka menuruni kuda.
Oroto berjalan paling depan dengan mata tajam yang tak henti bergerak mencari sesuatu. Makin lama suara tangis bayi itu makin jelas. Dan…betapa terkejutnya mereka melihat seorang bayi yang masih berlumuran darah sedang menangis sambil berusaha keluar dari gumpalan kain yang menutupnya. Mereka semua menghampiri bayi malang itu. Oroto merasa bergetar dan miris. Ia menggendong bayi itu sambil berusaha menenangkan tangisannya.
“Sungguh… tega sekali orang yang meninggalkan bayi ini sendirian.” Ucap Panglima Oroto, para prajurit menganguk.
Tak lama setelah itu, Oroto mengumpulkan semua prajurit untuk kembali ke istana, dengan bayi yang masih berlumuran darah dalam pangkuannya.




            Malam itu, di lain tempat. Sekelompok orang sedang melakukan perjalanan menuju suatu daerah dengan membawa banyak barang. Salahsatu dari mereka terlihat sangat lemas dengan raut wajah antara putus asa atau bertahan. Di sampingnya, seorang nenek tua dengan bayi dalam gendongannya. Tiba-tiba….
            “ Nenek..! A..a..aku.. melupakan Yin…” sontak wanita itu berkata, yang membuat nenek tua itu terpaku dengan mata membulat penuh. Mereka saling berpandangan. Pandangan wanita itu penuh harap.
            “ Semoga para Dewa melindungi jasadnya…” si Nenek menjawab pandangan wanita itu dengan hembusan nafas yang berat. Wanita bernama Raeko itu hanya bisa menatap tanah yang rela menyambut air matanya.
            Mereka melanjutkan perjalanan entah kemana. Yang jelas berlawanan arah dengan rombongan kerajaan tadi yang menuju arah utara.


********
            Hiruk pikuk orang-orang yang berjualan di pasar hari ini. Mereka saling bertukar apa yang mereka mau. Terlihat seorang gadis dengan umur enambelasan sedang menjajakkan dagangannya.
            “Kain, kain. Kain, kain. Belilah kain sutera ini. Kain bagus dan berkualitas. Kain indah-indah. Kain-kain..” serunya sambil menjajakkan dagangan di depan sebuah kios. Hingga ada seorang pria berkuda yang membeli kainnya. Setelah itu ia pulang.
            “Yang, mengapa masih pagi kau sudah pulang?” Tanya Raeko sambil memasak sup.
            “Aku lapar, Bu. Baru satu kain yang terjual, sepertinya yang membeli kainku, seorang prajurit”. Yang menyimpan dagangannya, lalu mengahampiri ibunya.
            “Hmm, sepertinya sup ini lezat sekali….” Yang memejamkan mata. Raeko tersenyum menatapnya, lalu ia mematikan api. Tak lama, sup sudah tersedia di atas meja. Yang menyantap supnya dengan segera. Raeko memperhatikan dengan binary mata penuh kasih sayang.
            “Mm Ibu, bagaimana jika seandainya saat ini saudara kembarku ada, pasti rumah ini ramai” ucap Yang disela-sela makanya. Mata Raeko menerawang keatas. Tanpa disadari Yang, Raeko menangis.

*******

            “Kita harus mengadakan penyerangan ke Kyushu, aku tidak bisa tinggal diam!” Ucap seorang raja, yang duduk sambil mengepal tangan geram.
            “Ya, sudah sewajarnya Baginda melakukan penyerangan. Perlakuan pangeran Tsamano terhadap putri Ibata tak bisa diampuni !” seseorang dengan pangkat perdana menteri berpendapat.
            “Kurang ajar sekali dia menelantarkan anakku demi mencari wanita jalang itu! Argh.. Zaigo! Tolong kau panggilkan panglima Oroto!” Sejenak Raja berdiri, dengan raut wajah penuh kebencian dan kesedihan. Tak lama setelah itu, Oroto tiba dan langsung memberi penghormatan.
            “Oroto, aku berencana untuk melakukan penyerangan ke Kyushu. Sudahkah kau siapkan para petarung tangguh?” Raja mengerutkan kening.
            “Hormat hamba Baginda. Bagaimana jika hamba sertakan Sako dibarisan prajurit terdepan?” 
            “Sako? Bukankah gadis itu baru enambelas tahun? Apa alasanmu?” raja menyipitkan matanya, alisnya bertaut.
            “Maaf Baginda, umurnya kalah oleh ketajaman pikiran dan kejeliannya memanah. Ia bisa mengalahkan prajurit yang jauh lebih tua”. Sang Raja mangalihkan pandangan dengan mata menerawang jauh.
            “Tolong kau panggilkan dia!” Perintah Sang Raja.
            Dengan segera panglima Oroto berjalan menuju halaman belakang tempat Sako sedang bermain panah dengan para prajurit lain.

*******
            Suara jeritan orang-orang yang berlari tak karuan silih berganti. Kedaan desa porak poranda. Barang-barang berserakan dimana-mana. Pagi hari yang seharusnya diisi dengan keceriaan dan semangat, jadi kacau balau. Sesuatu telah merusak semuanya. Debu yang beterbangan, menjadi saksi bisu penyerangan besar-besaran yang tiba-tiba dilakukan kerajaan Honshu. Mereka memacu kuda dengan penuh ambisi. Dendam telah membungkus wibawa pemimpin mereka.
            Di tempat lain, dalam ruangan dengan peralatan mewah, seorang raja terbaring lemah tak dapat bergerak kecuali menggelengkan kepala. Disamping ranjangnya, seorang pangeran bernama Tsamano sedang berusaha menyembunyikan isi hatinya yang sedih dan gelisah. Ia membisikkan sesuatu pada sang raja.
            “Ayah, aku yakin kerajaan kita akan baik-baik saja”. Ucap Tsamano. Sang Raja terbatuk-batuk. Tsamano mengusap kepala sang raja lalu mencium keningnya, dalam. Kemudian, dengan perlahan ia meninggalkan ayahnya bersama para tabib kerajaan. Ia bergegas mengumpulkan orang-orang kepercayaannya untuk membuat pertahanan. Rupanya ia sudah mendengar kekacauan yang dilakukan kerajaan Honshu. Dengan cepat, pasukan besar disiapkan untuk menghadapi musuh yang sudah bersiap dibalik pintu gerbang utama istana.
            Seseorang dengan derajat tinggi berteriak lantang penuh ambisi.
            “Tsamano, keluar kau! Kau harus bertanggung jawab atas kematian putri Ibata!” terdengar seorang dengan pangkat perdana menteri berteriak lantang. Di balik gerbang kerajaan Honshu, para prajurit makin merapatkan barisan, menunggu perintah raja mereka yang kini sedang menenangkan hati dan pikiran yang galau dan tak karuan. Sesaat raja Tsamano memejamkan mata. lalu, dengan pandangan ke depan, ia melangkah menuju gerbang istana dan keluar dari sana, sendirian. Rombongan kerajaan Kyushu kaget dan bingung melihat raja di pihak musuh hanya keluar sendiri tanpa pengawalan. Tsamano memikirkan cara lain, selain beradu senjata yang dapat menumpahkan darah.
            Berani sekali dia…pikir Raja Kyushu. Tsamano terus berjalan agak dekat, tepat di depan  seseorang dengan kuda dan perlengkapan termegah. Tsamano memberi  penghormatan kepadanya.
            “Wahai Ayah..” Tsamano berkata.
            “Tak pantas kau memanggilku Ayah!” Raja Kyushu berkata dengan mata membulat dan nafas yang memburu. Tsamano menundukkan kepala, matanya yang berkaca-kaca, menatap dalam ke tanah.
            “ Raja macam apa kau?! Menikah dengan putriku saat kerajaanmu terpuruk, setelah itu kau menelantarkannya hingga jiwanya tersiksa dan keadaannya terpuruk dan ia lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya! Itu semua gara-gara kau!” Raja Kyushu bekata dengan wajah yang memerah karena emosi yang mendidih. Tsamano tak bisa menjawab pun. Ia hanya dapat menatap tanah yang menyerap butiran airmatanya. Tak ada yang menyadari  bahwa sedari tadi seorang prajurit bernama sako memperhatikan Tsamano dengan lekat. Ia merasakan perasaan yang aneh saat memandang Tsamano.
            “Yang Mulia Baginda Raja Kyushu, apa yang harus aku perbuat…?” Tanya Tsamano tenang namun dalam yang mengakibatkan raja Kyushu tak bisa berkata apa-apa. Namun, seorang di samping raja mengeluarkan pendapat dengan penuh arogansi.
            “Yang Mulia, menurut hamba raja Honshu ini harus menemani Putri Ibata di alam sana.” Kata-kata perdana menteri membuat emosi raja makin bergolak. Tsamano memejamkan mata.
            “Baiklah jika itu memang dapat menghapus kesalahanku pada Ibata. Tapi tolong biar nyawaku saja yang menjadi gantinya. Jangan libatkan prajuritku, terutama rakyatku” tenang Tsamano berkata. Keyakinan Sang Raja goyah,emosinya naik turun. Saat perdana menteri akan membisikkan sesuatu pada raja, seorang prajurit bernama Sako tiba-tiba mengejutkan semua.
            “Jangan…..!” Teriak Sako. Semua menoleh ke arahnya. Sako, turun dari kudanya dan berlari ke hadapan Raja Kyushu, ia langsung berlutut di hadapan Raja. Panglima Oroto yang sedari tadi diam, takjub dengan apa yang dilakukan Sako. Sementara Tsamano terheran-heran.
            “Baginda Raja, Hamba mohon maaf sebelumnya. Tapi, bagaimana jika baginda melakukan kebijakan lain? Bagaimana nasib rakyat di negeri ini jika tak mempunyai raja?” Sako mulai berbicara dengan tatapan penuh harap. Di sisi lain, panglima Oroto benar-benar takjub dengan yang Sako lakukan dan tentu saja Tsamano tak kalah takjubnya. Siapa anak ini..? Pikirnya.
            Raut wajah Raja Honshu agak menenang, kini perdana menteri yang gelisah.
            “Aku tak bisa mengampunimu begitu saja, Tsamano. Namun, betul perkataan anak ini. Raja macam apa aku ini jika menghancurkan kesejahteraan rakyat.” Terlihat baginda berpikir dalam. Sako menghembuskan nafas dengan mata terpejam.
            “Untuk sementara ini, kau akan  kupenjarakan dalam penjara istana Kyushu.” Banyak yang terlihat senang setelah Sang Raja mengeluarkan kebijakan tersebut. Terutama Sako, yang ia pun tak tahu mengapa ia merasa bahagia. Sako menoleh ke arah Tsamano yang ternyata sedang menatapnya dengan penuh kekaguman. “Terimakasih…” ucap Tsamano.
            Derap langkah kuda menerbangkan debu-debu. Rombongan kerajaan Kyushu kembali ke istana mereka dengan membawa Tsamano yang ikut pada kuda milik Panglima Oroto. Dalam perjalanan, Tsamano terlihat berpikir keras. Berulang-ulang ia memanggil nama Raeko, yang membuat matanya berkaca-kaca. Di tempat lain, prajurit Sako terus menatap Raja Tsamano dengan ekspresi yang haus jawaban. Siapa dia? Mengapa aku begitu mengenalnya?
            Rombongan kerajaan Kyushu memasuki pasar rakyat yang keadaannya sudah porak poranda. Tsamano tak kuasa melihat keadaan negerinya.  Namun, apa yang bisa ia perbuat? Ia hanya bisa memandang dengan penuh penyesalan terhadap beberapa penduduk yang berusaha membereskan sisa-sisa kekacauan. Kuda terus berpacu kencang, tak pedulikan penduduk yang menghisap dedebuan.
            Terkejut Prajurit Sako, kala ada yang mengarahkan anak panah ke arah beberapa penduduk. Apa yang ia lakukan? Pikirnya.  Siiiing.. suara anak panah saat menusuk angin dengan ujungnya yang haus nyawa. Beberapa orang melihat panah tersebut telah tertancap di dada seorang wanita cantik dengan seoang gadis di sampingnya. Mata mereka terbelalak melihat kejadian itu, terutama Sako, yang amat tersentak kala melihat gadis di samping wanita yang terbunuh itu.
            “Mengapa wajahnya begitu mirip denganku?!”

******

            Dalam selimut malam yang mencekam, salju turun semakin lebat, angin yang menusuk kulit hingga ke rusuk, terlihat dua orang dengan berlainan jenis yang masih bisa berbincang seakan tak pedulikan keadaan yang orang di dalam ruangan pun masih kedinginan meski sudah berselimut sambil menyalakan api unggun. Dalam keadaan lemah, wanita yang sedang berbadan dua berbicara dengan raut wajah memelas, bahkan mengemis sesuatu.
            “Tsamano…. Mengapa kau setega ini padaku? Bukankah kita akan hidup bersama selamanya? Ini anak-anakmu Tsamano..” dengan bibir bergetar wanita itu bekata. Air matanya sudah membeku.
            Pria yang berdiri dalam balutan baju hangat yang mewah itu, hanya bisa terdiam sambil menatap sepatunya yang mulai terbungkus salju.
            “Tsamano… ! Mengapa kau hanya terdiam?! Tsamano…!” Wanita itu berbicara makin kencang, berusaha melawan derasnya salju yang turun. Pria bernama Tsamano menatap wajah wanita itu dalam kondisi hati yang hancur.
            “Maafkan aku Raeko… aku bersumpah. Hanya kau yang kucintai. Tapi kesejahteraan rakyat harus aku utamakan.. maaf Raeko..” Tsamano mengalihkan pandangannya.
            “Apakah tidak ada cara lain?! Mengapa harus dengan menikahi putri Ibata?!” makin naik nada bicara Raeko walaupun suaranya sudah serak karena menahan tangis. Tiba-tiba Tsamano duduk, lalu melepaskan balutan baju hangatnya dan memakaikannya di badan Raeko. Wanita itu tak tahu harus melakukan apa lagi. Ingin rasanya ia mengakhiri hidup. Namun, nyawa kedua dalam tubuhnya bergantung padanya.
            “Maaf Raeko” ujar Tsamano sembari bangkit dari duduknya.
            “Aku harus pergi..”
            Tatapan malam yang penuh misteri, salju yang turun makin lebat, angin yang berhembus kencang, tak dapat menghentikan langkah Tsamano yang kian menjauh. Mereka hanya dapat menjalankan tugas mereka pada malam itu sambil berusaha menahan gerakan agar tidak makin melukai wanita yang kini terkulai lemah dalam balutan baju hangat yang berlambangkan sebuah kerajaan.
           






Komentar

Postingan populer dari blog ini

UNDAK USUK BASA SUNDA

Psikologi Transpersonal, Agama dan Being Transpersonal

A story (Cinta Sejati Air dan Api)